Suasana kedai siang itu masih sepi, hanya ada 2 orang pria yang sering membantu Om Joko menjalani operasional Kedai.
Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, minimal akan ada 8 sampai 10 band yang akan tampil dari jam 15.00 sd 21.00. Setiap band di beri waktu maksimal 30 menit untuk tampil, dan mulai tahun ini om Joko memberikan apresiasi tambahan untuk band terbaik, yaitu plakat sebagai kenang-kenangan. Sederhana tapi Om Joko yakin, apapun bentuk apresiasinya pasti akan sangat berharga.
Jam 12.10, selepas adzan dzuhur yang sayup-sayup saling bersahutan, hembusan angin bulan Maret menyebarkan aroma tebu yang siap panen dari ladang yang berada di belakang kedai Om Joko. Dari depan kedai masuk sebuah sosok dengan rambutnya yang sudah mulai memanjang sampai ke bahu.
"Wisnu,...tumben datang lebih dulu. Biasanya paling telat". Ujar om Joko sesaat mengenali sosok itu.
"Saya hampir gak ngenalin dengan rambut gondrong kamu, mau minum apa? Gratis".
"Es teh manis aja om.." Jawab Wisnu singkat.
"Kamu gak apa-apa Wis? Kok kelihatan pucet?
"Gak apa-apa om, Cuma capek aja baru sampai". Wisnu coba menjelaskan, sambil om Joko menyiapkan es teh manis pesenannya.
Tapi Om Joko bukanlah anak kemarin sore yang tidak bisa menangkap kegelisahan dan gelagat aneh Wisnu. Jadi sambil membuatkan minum pesanan Wisnu, Om Joko juga menyeduh secangkir kopi pahit kegemarannya. Harapannya sambil minum bersama, Om Joko bisa, mengulik apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Wisnu.
Wisnu siang itu memang tidak banyak bicara seperti biasanya. Walau bukan tipe orang yang bawel, tapi cowok ini selalu responsive kalau diajak ngobrol apalagi kalau berdiskusi mengenai hal-hal yang kreatif.
"Kamu mau cerita apa? Mumpung yang lain belum datang". Todong om Joko sambil menaruh es teh manis pesanan Wisnu dan meniup lembut bibir cangkir berisi kopi pahit yang masih cukup panas itu.