“Waktu di rumah dia ngedrop. Langsung saya bawa kemari. Padahal sewaktu di rawat inap kemarin, ia kelihatan sudah pulih,” ucap istrinya pelan.
“Sebenarnya dia sakit apa?” Kini aku bertanya pada perempuan itu. Ia balik ke dalam, kemudian keluar dengan hasil foto rongent dalam sampul kertas hijau pupus daun. “Mas pasti tahu dari foto ini.”
Aku terawang film itu. Kemudian membaca diagnosis dokter radiologi. Aku terdiam. TBC kronis!
Sudah beberapa kali aku menjumpai dia batuk. Batuk yang berkepanjangan. Tapi ia selalu anggap barang biasa. “Aku pakai daun sirih. Dimasukkan dalam air panas, kemudian meminumnya.” Ia menjelaskan padaku.
“Tapi, kalau sering batuk begini, kamu harus waspada.” Dia menatapku tanpa tanya. “Sekali waktu, kamu harus mendatangi dokter spesialis paru-paru.”
Bukan hanya batuk yang mencurigakan. Tubuhnya pun makin menipis, makin kehilangan daging. Dan orang-orang memperhatikannya, bertanya padaku: kenapa Kusno kurus sekali?
Tapi aku tidak tahu, kenapa ia tidak mengindahkan saranku. Setidaknya sekedar menanggapi. Itu pun cukup bagiku. Tapi sudahlah, aku pun berusaha mengerti. Semenjak berhenti berdagang keliling ke pulau-pulau seberang itu, dirinya nyaris tak punya pekerjaan pasti. Aku pun tak tahu, bagaimana ia bisa bertahan dalam situasi itu menghidupi keluarganya.
Terlambat, pikirku. Dokter yang dulu merawat mungkin sudah tahu, Kusno sulit disembuhkan. Hanya tak berterus terang. Ya, mungkin saja begitu. Pengobatan kali ini pun bisa jadi tak memberi hasil, menurutku. Tapi aku tak sampaikan itu pada istri Kusno. Sepertinya, ia pun membaca pikiranku. Ia tenang. Tampaknya perempuan ini sudah siap untuk keadaan apapun: menerima takdir. (***)
Bumi Cahyana, 30 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H