Ini pedalaman. Satu wilayah dalam gugusan pulau yang tersebar di Selat Malaka. Â Tak terhitung berapa jarak yang telah ditempuh dari awal ia menapakkan kaki. Sepanjang ia lalui bersepeda, hanya perkebunan karet dan kelapa sawit terhampar luas. Kampung-kampung tak semudah dijumpai sebagaimana di Jawa, tempat asalnya.
Sekelompok orang tengah bergerombol di tengah jalan yang hendak dilewatinya. Kusno hitung, ada sekitar dua puluh lima orang. Menghadangkukah?Â
"Masya Allah!" Ia melafal doa sembari menggelengkan kepala.
Bukan jumlah yang membuatnya ciut nyali. Bukan tampang mereka. Bukan perawakan. Tapi senjata tajam seperti parang, ada pada genggaman. Siaga ada pada  mereka.
Parang terhunus dengan sesekali menampilkan kilauan terkena sinar matahari. Tiada teriakan dari mereka yang mengancam Kusno. Ia tengok ke belakang. Tak ada orang! "Mungkinkah saya ini, yang dinanti mereka?"
Ia pun berpikir. "Kalaulah lari. Dan sepeda saya tinggalkan. Kemungkinan besar saya keok. Nafas saya tak memungkinkan berlari cepat."
"Putar balik, dan menggenjot sepeda secepatnya?" Ini pilihan sulit. Beban berat yang ada dalam tas besar yang terikat pada boncengan sepeda, tak memudahkan gerakan. Belum lagi jalan yang tidak rata. Itu akan menyiksa. Â Apa maju saja, mendekati mereka, pikirnya. Â Itu pun risiko. Seperti menyerahkan leher untuk dipenggal.
Ia sudah yakin bahwa dirinyalah yang sedang mereka hadang. Kedua pihak saling menanti. Kusno menunggu keputusan yang harus diambil pada saat genting itu. Di sisi lain, kelompok orang itu menunggunya mendekat.
Ini kali pertama Kusno bertandang ke pedalaman ini.  Pedalaman Bengkalis.  Petualangannya bukan pengembara. Ia cari uang. Berniaga aneka pakaian yang dibawanya dalam tas besar. Celana jean, baju koko, kemeja, kaos. Bersepeda ia keliling dari kampung ke kampung. Beberapa waktu yang lalu ia sudah merambah ke pulau seberang.  Ia melompat dari satu pulau ke pulau lain dengan menumpang angkutan perahu motor. Bukan jarak yang dekat. Puluhan kilo! Lebih dari satu jam terapung menuju dermaga berikutnya. Suatu pengalaman yang belum dia rasakan.  Beda dengan masa kecilnya, yang hanya bermain  rakit bambu  di alur suanga besar belakang rumah.  Tapi kali ini beda.
Sesungguhnya, dia sendiri tak mengira, tubuh dan nyawanya bisa berkelana ke pulau-pulau pinggiran: pulau perbatasan. Pulau yang selama ini ia tahu hanya dari peta. Setiap menemukan dermaga, ia bertanya pada orang di sekitarnya: Itu perahu mau kemana?
Ia tak bertanya lagi sesudah terima jawaban. Naik saja, mengikuti perjalanan di atas air. Kemudian turun di dermaga dan mencari kepala kampung untuk izin berjualan. Sekaligus, numpang menginap.