"Bapak siapa?" Satu dari mereka bertanya ke Kusno. Empat orang di samping kiri dan kanan mengapit orang tersebut. Selebihnya berada di barisan belakang.
"Kusno!” ia menjawab. “Penjual pakaian."
Jawaban itu memicu perubahan pada raut wajah mereka. Kegarangan meleleh. Ada senyum yang hendak ditampakkan, kendati tertahan. "Penjual pakaian?"
"Ya, aku penjual pakaian keliling." Orang-orang tersebut saling pandang memandang. Dilihatnya setumpuk pakaian yang teronggok di tepi jalan.
"Memang ada apa dengan saya? Pikiran saya sudah buruk sekali sedari tadi"
"Mohon maaf…" Satu di samping yang awal bicara, mengeluarkan suara. "Kami mengira, Bapak ini penculik! Penculik anak!"
Kusno akhirnya ingat kenapa ia dikira penculik. Isu adanya penculikan anak sudah ia dengar di sebuah warung makan dekat pasar beberapa waktu sebelumnya, Beberapa orang membicarakan, dan ia menyimak tanpa bertanya. Ternyata, cerita itu sudah merebak ke berbagai tempat. Sampai di pedalaman yang tengah ia jajaki.
Sang penculik membawa tas besar dan bersepeda, begitu orang-orang saling memberitahu satu terhadap lainnya.
“Tas besar dan bersepeda?” Kusno seperti bertanya pada mereka. Itu memang gambaran dirinya, tapi bukan dia.
Kusno tertawa mengakhiri sejumput cerita dari tanah seberang itu. “Kamu pasti tak sangka , aku mengalami hal itu.” Aku menganguk pelan.
Tapi kini, aku iba dengannya. Di ruang isolasi itu tak mungkin aku lama bercakap, hingga menyingkirlah aku keluar ruangan. Istri Kusno menyusulku beberapa langkah.