“Tak ada siapa-siapa.”
Aku menengok yang ditunjuk Kusno. “Tak ada siapapun,” ucapku sama.
“Ada. Itu…. Nah…. Itu….” Kusno menunjuk-nunjuk ke arah nakas berplat logam bercat putih.
Halusinasi? Pikirku kemudian.
Lelaki ini tinggal tulang berselimut kulit. Matanya cekung. Larikan iga-iga menyembul dari balik kaos yang dikenakan. Ada selang infus pada tangan kanan dan juga oksigen yang menempel bawah hidung. Lelaki ini nampak kehilangan kegagahan. Hingga malu ketika anaknya hendak menyuap makan siang. Ia mencoba memaksa merebut piring. Ia ingin menyuap sendiri. Tapi tak mampu. Ia ringkih. Tangannya bergetar-getar,saat akhirnya anak lelakinya melepas piring.
Lama aku tak dekat dengannya. Puluhan tahun, barangkali. Baru beberapa bulan belakangan ini kami bisa bercakap banyak. Dan temanku itu, dengan tiga anak dan istrinya, menempati rumah yang tak berpenghuni. Bapak dan ibunya mangkat selang setahun, berurutan. Kusno, oleh saudara-saudara diminta menghuni rumah itu.
Lelaki berkulit gelap, yang pintar memainkan gitar dan biola itu pernah bercerita kepadaku tentang satu perjalanan hidupnya. Mengais rupiah di tanah seberang. Ada pengalaman yang mengesankanku. Yang membuatku terpana.
Sekiranya diceritakan kembali, beginilah kisahnya.
Akhir hidupnya seperti sudah ada di depan mata. Kematian yang tidak akan dilihat oleh istri dan anaknya. Kematian yang mungkin sulit diketahui mereka yang pernah mengenalnya. Atau, menjadi manusia yang dianggap hilang tak jelas rimbanya.
Ia benar-benar diam. Berhenti. Kayuhan sepedanya ia sudahi. Kedua kakinya menapak pada tanah basah yang terguyur hujan semalam. Pantatnya masih tersangga pada sadel hitam yang telah menahan beban dirinya berkilometer-kilometer. Peluh dari pipi kanan dan kiri bermuara di dagu. Seakan berniat menyuburkan bulu jenggotnya yang belum sampai satu senti itu. Ia seka dengan ujung kerah kaos lengan panjangnya.
Lelaki itu menatap jauh ke jarak pandang satu lapangan bola. Menduga-duga: Ada apa?