“Kades males. Maunya mendatangi warga mampu saja. Giliran kerja bakti, kita-kita yang harus berangkat!” cibir Kusdiman, salah satu warga penerima beras miskin, sembari melinting papir tembakau.
Desakan mundur pada Tralala sampai juga ke telinganya. “Saya belum berpikir mundur. Percuma sudah melangkah begini, malah mundur. Tinggal sebentar saja. Orang kok nggak sabar!”
Sekali tiga uang, Trilili, istri Kades Tralala pun jarang di desa. Ia mulai banyak di rumah terdahulu, di Jakarta bersama anaknya. Berlama-lama ia di sana, menghindar dari kegiatan sebagai Istri Kades. Kali ini Tralala menengoknya, sekalian berobat.
“Rasanya lelah menjadi Kepala Desa…” ungkap Tralala pada Trilili yang bertanya: kamu terlihat kurus?
“Siapa suruh kamu jadi Kades?” istrinya menyahut. “Bukankah niat kita kembali ke desa untuk ketenangan hari tua!” lanjut istrinya.
Trilili memang tak setuju, sedari awal, ketika satu dua orangmulai meminta suaminya mencalonkan diri sebagai Kades. “Dia sudah tua. Sudah harus istirahat. Jangan diganggu urusan politik. Urusan begituan!” katanya kepada Jumino, juga beberapa orang lain yang bernafsu sekali membujuk Tralala agar bersedia. Tapi Trilili tak kuasa menghentikan semua itu.
“Kamu tidak sadar diperalat mereka, atau kamu memang berambisi pulang ke desa hanya untuk menjadi pemimpin di sana?” Trilili bertanya menggugat. Tralala terdiam. Ia tidak perlu menanggapi suara istrinya yang mulai menusuk-nusuk gendang telinga.
“Saya sudah memutuskan untuk menetap di sini. Di Jakarta. Sampai kamu mengakhiri masa jabatan!” kencang Trilili berkata.
“O… kenapa begitu. Saya tidak enak dengan warga. Bagaimana dengan urusan PKK. Urusan Dasa Wisma... Urusan yang membutuhkan Istri Kades. Kemarin-kemarin Pak Camat sudah menegur saya. Bu Camat pun menanyakan dirimu yang sudah beberapa kali tidak kelihatan memenuhi undangannya!”
“Terserah!!”
“Tidak bisa begitu dong!”