Beberapa tahun berjalan. Orang sudah mulai berani memprotes Kades Tralala. “Uang pendapatan desa mohon untuk dihemat, Pak Kades!” kata Ketua RT, Darimun. “Pilih kegiatan yang memberi manfaat untuk warga”.
Semenjak Tralala menjabat, yang dulu tidak ada acara ulang tahun desa, kini diadakan. Biayanya tentu puluhan juta. Agaknya, Tralala lebih senang dengan kegiatan seperti ini.
“Pak Kades, kapan membangun stadion?” bertanya si Gabrul, pemuda pendukungnya, penggemar sepak bola.
“Itu nanti. Itu untuk jangka panjang. Butuh pemikiran tersendiri.”
“Tembok keliling untuk pasar harus segera terealisasi, Pak Kades!” ucap Jiglong sedikit bernada tinggi. Ia pedagang pakaian, yang sudah dua kali kiosnya dibobol maling.
“Itu juga nanti, Glong. Semua harus terukur. Jangan serampangan (sembarangan)!” jawab Kades Tralala.
Tentu ada janji lain yang sempat terucap saat sosialisasi program dulu, yaitu pembuatan rumah jabatan kades. Tapi masyarakat enggan untuk menanyakan itu. “Buat apa? Yang penting-penting saja masih terabaikan!” Sebagian besar orang bernada suara sama.
Saya akan mengejar urusan jangka pendek, kata Kades Tralala. Nama jalan kita bereskan. Kita namai setiap jalan, setiap gang dengan nama tokoh pendahulu desa ini. Ini penting untuk penghargaan terhadap jasa mereka. Kita pasang papan nama di ujung jalan dan gang. Nama yang besar. Biar kades lain bisa mencontoh kita.
Sampai satu tengah tahun menjelang akhir masa jabatan, tiada janji besarnya yang terwujud. Bahkan, masyarakt pun seperti sudah lupa dengan itu semua. Kini mereka hanya bisa menikmati kenyataan, Kades Tralala jarang ke kantor. Urusan surat-menyurat sering tersendat. Seringkali, warga yang punya kepentingan harus menunggu dia berangkat ke kantor desa. Atau jika terpaksa, ada yang memburu ke rumah untuk sekedar meminta tanda tangan. Untuk beberapa urusan, tanda-tangan memang harus asli. Pihak kecamatan menolak jika yang tertera tanda tangan dari stempel.
Orang-orang sudah mendengar, Kades Tralala mulai terjangkit darah tinggi. Kadar gula pun tinggi. Jadi harus sering istirahat. Tapi, karena ini berlarut-larut, sudah banyak orang yang mengusik ketenangannya. “Sebaiknya mundur saja!” Kata Dulapit gusar. Lelaki ini dulu pendukung Kades Jalitut. Sudah banyak pula yang mengamini desakan untuk mundur.
“Percuma punya Kades begini. Ada warga meninggal, dia tak mau datang. Kalau datang langsung ke kuburan. Tak mau ke rumah duka,” Ujar Gendon kecut.