“Kamu dianggap tidak memiliki masa depan,” lanjut Is menjelaskan.
“Kenapa?”
“Bapak bilang… apakah dengan senja kalian bisa bahagia?”
Aku menggaruki kepala tanpa sebab. “Lantas, siapa yang punya masa depan di mata Bapakmu?”
Is menarik nafas, kemudian melepasnya cepat. “Mereka yang pegawai negeri. Gajinya pasti tiap bulan. Ada gaji 13....14. Ada pula uang pensiun. Nah, yang begitu dianggap bermasa depan.”
Semenjak itu aku bersumpah, "Saatnya nanti, akan kuantar senja itu ke rumah Is." Bagiku, senja adalah pembeda. Sebagaimana lelaki sepertiku!
Aku seperti mendapat energi baru. Sekarung senja, dengan warna jingga yang menyala menghangatkan darahku. Melebarkan pupil mata. Membungakan hati. Dan banyak hal lain yang tak perlu aku sampaikan di sini. Maka aku semangat mengayuh pedal sepeda. Menyusuri jalan beraspal yang tak layak lagi di sebut jalan aspal karena aspal yang ada hanyalah sisa-sisa yang masih mau bertahan merekat pada tanah berbatu itu.
“Hai, kamu bawa lampion ya?” seseorang bertanya saat berpapasan.
“Bukan. Ini senja!”
“Senja?”