Jika bukan karena omelan lelaki tua Ayah Is, Is yang kekasihku itu, aku mungkin tak akan memetik senja. Senja yang aku dapati saat aku berada di atas Jembatan Serulingmas. Senja yang benar-benar membinarkan mata. Aku tidak mau memerikan tentang senja, karena selalu mendadak menjadi sulit untuk kulukiskan keindahannya. Mungkin karena aku terlalu mengagumi, sampai aku menjadi gagap untuk itu.
Saat aku melihat senja kala itu, jantungku berdegup kencang. Ada benturan dari dalam dadaku yang bersamaan dengan itu, hatiku bersuara keras, ”Petik senja itu....! Dan bawa segera ke rumah Is!”
Aku tak mengerti dengan perintah memetik senja. “Ambil karung yang ada di sepedamu!” kata hatiku lagi. Seketika itu aku mengambil karung. Tapi aku bingung: untuk apa? “Untuk mewadahi senja, goblok!” Aku jadi tersenyum. Baru kali ini hatiku menggobloki diri sendiri. Tapi aku mencoba tenang dan ikhlas dengan situasi yang aneh ini.
Kemudian, aku seperti diarahkan bagaimana mengais senja sore itu. Aku menaiki pembatas pada ujung timur jembatan. Tingginya hampir satu meter. Di atas cor beton persegi panjang itu aku berdiri. Tangan kiri memegang karung yang ujungnya menganga. Sedangkan tangan kanan menggapai-gapai meraih senja. Lantas memasukannya ke dalam karung.
“Wow…..!” aku girang bukan buatan.
Aku tak menduga, senja bisa kupetik seperti memetik buah mangga, jeruk atau jambu. Orang-orang yang melintas di jembatan itu terpana melihatku. Memandang dengan sorot mata aneh. Mungkin aku dianggap sedang gila. Tapi aku tetap fokus pada yang kulakukan. Aku tidak tahu lagi, sudah berapa banyak orang yang memerhatikanku saat itu.
Dan akhirnya, sekarung sudah penuh senja. Aku mengikatnya dengan seutas tali karet ban dalam sepeda. Karung aku letakkan di boncengan, terikat menindih kuat logam penyangga pantat itu, sebagaimana Is sekali waktu bersamaku membonceng.
Is, kekasiku itu pernah mengadu kepadaku dengan wajah malas tersenyum: “Bapak bilang, jangan berharap pada lelaki yang hanya bisa menjanjikan senja padamu!”
Aku tersenyum mendengarnya. Atau setidaknya memaksakan diri untuk tersenyum. “Berarti dia Bapakmu betulan, Is,” aku memulai menanggapi. “Ia ingin anak perempuannya kelak hidup kecukupan. Tidak makan mimpi-mimpi atau hayalan lelaki.”
Is menatapku memelas. “Tapi itu penghinaan. Pelecehan terhadap lelaki kekasih hatiku. Melecehkanmu!”
Memang, aku pernah bilang kepada Is: “Suatu hari nanti, aku akan membawakanmu senja.” Aku katakan itu pada malam di rumahnya. Kami duduk berdua di serambi depan. Mungkin Bapaknya mendengar itu. Mungkin sekali. Lelaki tua itu sering berdehem-dehem tak jauh dari kami berduaan. Tapi tak menampakkan diri. Dehemnya bermakna isyarat: “Aku mengawasimu!” atau “Sebaiknya kamu cepat pulang, sekarang!” Jadi, sangat mungkin bila dia mendengar tentang suara yang keluar dari mulutku.
“Kamu dianggap tidak memiliki masa depan,” lanjut Is menjelaskan.
“Kenapa?”
“Bapak bilang… apakah dengan senja kalian bisa bahagia?”
Aku menggaruki kepala tanpa sebab. “Lantas, siapa yang punya masa depan di mata Bapakmu?”
Is menarik nafas, kemudian melepasnya cepat. “Mereka yang pegawai negeri. Gajinya pasti tiap bulan. Ada gaji 13....14. Ada pula uang pensiun. Nah, yang begitu dianggap bermasa depan.”
Semenjak itu aku bersumpah, "Saatnya nanti, akan kuantar senja itu ke rumah Is." Bagiku, senja adalah pembeda. Sebagaimana lelaki sepertiku!
Aku seperti mendapat energi baru. Sekarung senja, dengan warna jingga yang menyala menghangatkan darahku. Melebarkan pupil mata. Membungakan hati. Dan banyak hal lain yang tak perlu aku sampaikan di sini. Maka aku semangat mengayuh pedal sepeda. Menyusuri jalan beraspal yang tak layak lagi di sebut jalan aspal karena aspal yang ada hanyalah sisa-sisa yang masih mau bertahan merekat pada tanah berbatu itu.
“Hai, kamu bawa lampion ya?” seseorang bertanya saat berpapasan.
“Bukan. Ini senja!”
“Senja?”
Dan beberapa yang lain di jalan sepi itu menatap boncengan sepedaku. Menatap nyala karung, yang sore itu menjadi penerang sepanjang jalan desa yang sepi.
Akhirnya, sepeda aku belokkan ke arah pelataran rumah Is. Sesaat kemudian, pintu rumah terbuka perlahan. Tak kusangka, gadis itu bersegera keluar. "Mungkinkah ia sudah mencium bau keringatku dari kejauhan?"
“Kamu bawa apa di belakang itu?” teriaknya agak kencang.
Aku memberi senyum. Menengok sejenak ke belakang. Ke boncengan. Kemudian balik menatap wajah kekasihku. “Ini senja untukmu, Is…. Senja yang pernah aku janjikan.”
Agaknya ia terkesima sembari menanti aku menurunkan sekarung senja yang ikatannya sudah terlepas. Aku membaca pikirannya: ia tengah bimbang, percaya atau tidak.
Aku membopongnya. Mendekatkannya kepada Is. “Apa kamu masih ragu dengan senja yang aku bawa?”
Ia menampakkan rona wajah berseri. Bibirnya terkatup. Ditatapnya sinar yang membuat wajah beningnya terlihat menyala-nyala. “Kamu jadi tampak cantik dengan cahaya senja ini, Is,” ucapku. Dan ia mencubitku keras pada lengan kiri atas.
Aku heran. Makin melewati maghrib, warna senja itu makin menguat sampai tidak tampak bahwa ia terbungkus karung. Maka, orang yang melihat pun mendekat. Satu demi satu mengumpul mengitari sekarung senja. Ramailah suasana pelataran rumah Is hingga malam menjelang.
Berlama-lama Is tertegun. Ia memamerkan kepada setiap yang datang. “Dia yang membawa ke mari.” Aku yang ditudingnya merasa sesak dada. Setidaknya, pemberiaan sore itu mencerah-ceriakan kekasihku, Is.
“Bubar.... Bubar semua!” Lelaki tua Ayah Is tiba-tiba memburu dari dalam rumah, mendekat kerumunan. “Jadi orang jangan kagetan. Jangan gumunan. Barang seperti ini jadi tontonan!”
Sesaat semua terdiam. “Bubar...!” serunya lagi.
Satu per satu yang datang mengambil langkah mundur dan menghilang dari pelataran. Hingga tinggal kami bertiga di depan rumah.
“Untuk apa kamu bawa sampah ini ke mari, Ngatijan!” namaku disebutnya.
“Ini senja. Senja untuk Is,” jawabku.
“Senja?” ia berkacak pinggang. “Senja tak bisa membiayai hidup berumah tangga!”
Aku berusaha membela diri. “Tapi bagi kami, senja memberi kami semangat hidup.”
“Weleh…… weleh...! Mmm.... mmm... mmm. Anak muda!”
“Bapak boleh saja tak sejalan. Tapi tanyakan saja pada Is, bagaimana perasaannya hari ini.”
Lelaki tua ayah Is itu terperanjat dengan perkataanku. “Kutu kupreeeet..!!!”
“Bapak, seumur hidup baru kali ini aku bisa menikmati senja sedekat ini. Dan ini kebahagiaan yang tak bisa dibilang. Bukankah Bapak tak sekalipun pernah menghadiahiku yang seperti ini?” ujar Is tiba-tiba, yang membuatku terkesiap karena ia bermaksud membela kehadiranku dan juga pemberianku. “Ia pernah berucap ingin memberiku senja. Dan hari ini senja itu datang tiba-tiba dalam sebuah karung. Aku merasakan kebahagiaan yang berlebih. Ia lelaki penuh pesona. Lelaki yang bisa memberi kejutan.”
“Kamu masih waras Is, anakku?”
“Masih, Pak.”
Lelaki tua Ayah Is geregetan. Ia mengambil ancang-ancang. Dengan sekuat tenaga sisa hari itu, ia menendang sekarung senja yang aku bawa. Kami berdua hanya bisa bergeming memandang. Karung berguling-guling menjauhi kami. Percikan kuning keemasan menari mengikuti gerakan karung di atas batu-batu kerikil pelataran rumah.
“Senja keparaaaaaat………!!” teriak Lelaki tua Ayah Is.
Terinspirasi dari seorang perempuan yang biasa dipanggil "is", juga dari cerpen-cerpen tentang senja karya Seno Gumira Ajidarma
Bumi Cahyana, 28 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H