Mungkin, dia anaknya. Ia masih belasan tahun. Atau mendekati dua puluh tahun. Ada juga satu lagi di belakangnya. Anaknya kecil, mungkin usia SMP. Walau lampu dalam bus sudah dinyalakan, tapi dari kaca spion tidak jelas, dia laki atau perempuan.
“Kok nggak ada yang teriak: ada yang mau turun di Senja Indah? Biasanya kondektur kan begitu!” kata ibu itu lagi.
“Ah, tadi kan sudah dibilangin, ini rumah makan Senja Indah. Tapi Ibu ngak percaya!” seru anaknya lagi.
Saya tetap fokus mengemudi. Beberapa penumpang mungkin sama herannya dengan saya. Bukankah sudah biasa, di Rumah Makan Senja Indah itu Bus Akap selalu berhenti untuk istirahat. Saya menduga perempuan itu bingung. Bingung karena biasa berperjalanan siang hari. Begitu menempuh perjalanan malam, ia merasa asing dengan tempat yang sebenarnya ia mengenal. Siapa yang tak kenal Rumah Makan Senja Indah. Besar dan luas. Ratusan Bus Akap bisa mengumpul di area parkirnya.
“Terus bagaimana ini?” tanya anak perempuan itu kepada ibunya.
“Turun di sini saja, Pak Supir!” teriak ibu itu.
Saya melihat jam digital di atas ruang kemudi: Pukul 2.10. Jalan sepi dan gelap. Nyaris tidak ada manusia terlihat di pinggiran jalan. Bukan pula jalur yang terdapat warung. Hanya pohon-pohon besar dan tinggi yang berjajar pada sisi kanan dan kiri.
“Jangan, Bu!” kata saya. “Di terminal saja nanti.”
Bus nanti akan melintas di jalan lingkar luar sebuah kota kecil. Di sana ada terminal. Biasanya ada tukang ojek pangkalan menunggu penumpang turun di sana.
“Wah, jauh sekali, dong!”
“Pokoknya jangan di sini, Bu!” ujar kondektur menyambar.