Bukan sekedar tulisan sembarang tulisan, menurut saya. Itu menjadi pengingat bagi yang ada di rumah: istri saya tentunya. “Kerjamu untuk dia. Jangan banyak jajan. Dan jangan sekali-kali ‘jajan’!” ucapan yang tertuju pada diri sendiri.
Hehehe…. Ya, semua "Demi Nyai”!
Dan saya harus hati-hati, karena dia selalu menanti!
***
“Sekarang di Tol Pejagan,” jawab saya kepada seorang teman supir yang menghubungi lewat HP. Dia berangkat dari Terminal Kampung Rambutan.
Sebenarnya ber-HP-an pada saat mengemudi dilarang. Tapi entahlah, seperti sudah menjadi kebiasaan di antara kami. Kami sering mengontak sesama pengemudi satu trayek. ekedar memberi kabar, membuang jenuh bahkan mungkin agar tahu posisi masing-masing. Ah, dasar mulut orang, kadang lepas kontrol, kami suka berlama-lama ngobrol lewat telepon seluler untuk sesuatu yang tidak penting pula. Mungkin ada penumpang yang geram menyaksikannya. Walaupun sudah ada tulisan pada papan fiber di belakang kursi kemudi: Ingatkan supir jika menggunakan HP saat mengemudi. Toh, nyatanya tak sekalipun pernah mendapat teguran dari para penumpang. Mungkin, mereka menganggap: percuma saja!
“Saya baru melewati Pintu Palimanan!” dia memberi tahu posisinya sekarang di wilayah Cirebon.
“Oh, ya!” Kami pun menyudahi percakapan.
Membawa bus itu membawa nyawa manusia, kata istri saya pada suatu ketika. “Bukan nyawa hewan.” Urusannya bukan sekedar kerja, cari duit. Tapi harus punya tanggung jawab. Tahu kan, kalau kamu masuk penjara karena menabrak. Kecelakaan? Aku hanya manggut-manggut waktu dia berkata itu.
Sekaranglah dia cerewet. Mungkin bentuk anomali perhatian dan kesetiaan pada belahan hati.
Saya dulu bilang kepada perempuan itu, jadi istri supir, maksudnya supir bus tentunya, harus siap menanggung risiko kerja suaminya. Di jalan, kalau tidak nabrak, ya ditabrak! Sewaktu-waktu saya bisa sudah di rumah sakit. Bila kena apes berat, hilang pula nyawa. “Tahu-tahu kamu mendadak jadi janda!” Saya katakan itu sebelum kami menikah.