Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Perihal Temanku saat Menganggur

10 Maret 2016   18:07 Diperbarui: 12 Maret 2016   11:06 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: ponytailparty.blogspot.com"][/caption]1.

Sudah setahun ini temanku menganggur. Ketika hendak memperpanjang KTP, ia  sengaja kosongi kolom pekerjaan. Ia berusaha jujur. Bahwa dirinya memang pengangguran. Alias, tidak punya pekerjaan. Ia tak mau menelan ludah yang telah keluar dari mulutnya. Bahwasanya ia telah mengajarkan kepada kedua anaknya, ”Jangan kau gadaikan kejujuranmu, walau dalam penderitaan.” Tetapi petugas di kecamatan tidak akan mengurus KTP-nya, jika form belum diisi lengkap. Ia meminta temanku untuk menulis saja. “Terserah yang Bapak suka, yang penting ada tulisannya.”

Biar tidak berpanjang-panjang, temanku lantas mengisinya sesuai arahan. Ia berpikir sejenak, kemudian menulis pada kolom form itu. Pekerjaan: Menidurkan istri.

2.

Karena tempat tinggalnya dekat pasar, seorang kepala dusun yang terkenal suka slimpat-slimpet mencari objekan untuk kantong pribadinya, mendekati temanku itu. Katanya, sekarang pasar sudah ramai. Banyak motor parkir di sana. Ratusan berjejer tiap harinya. "Ini kesempatan untuk kita sebagai warga sini," lanjut kepala dusun itu.

Di mata orang itu, recehan parkir akan menjadi seperti pancuran. Mengalir dan mengalir. Sudah dua kali lelaki itu meminta kesediaan temanku untuk menjadi juru parkir.

“Cuma Anda yang bisa diandalkan. Kami butuh orang yang jujur dan terpercaya.”

Dan temanku yang pengangguran itu menjawab, “Aku kupikir-pikir dulu!” Sebuah kalimat penolakan halus.

Pada kemudian waktu ia berkata kepadaku, bagaimana mungkin dirinya mau menarik uang parkir; apalagi statusnya parkiran liar. Sedang dia sendiri enggan memberi uang parkir saat mengistirahatkan motornya di tepian jalan kota.

3.

Sekali waktu aku mendatangi rumah temanku itu. Sebenarnya, itu rumah peninggalan orang tuanya. Sementara ia tinggali, karena belum punya rumah sendiri.  Cukup besar bangunan untuk keluarga berjumlah empat orang. Kamarnya pun empat.

Sesaat, aku terpana. Rumahnya berantakan! Pakaian yang belum disetrika menggunung di tempat tidur. Aku bisa melihat, karena pintu kamarnya terbuka dan tak bergorden. Ada juga berbagai benda teronggok di kursi. Dua tivi 20 inci yang sudah almarhum berjejer di meja belakang. Meja ruang tengah berisi berbagai perkakas: tang, obeng, solder, kabel, tinol, korek api. Juga, segelas kopi. Piring yang tampaknya bekas dipakai makan pun tergeletak di meja itu. Istrinya malu, ketika aku datang. Ia segera berbenah. “Orang kok nggak senang beres-beres!” ucap istrinya.

Temanku memandang dengan damai wajah istrinya. “Ah, nanti juga berantakan lagi.”

4.

Kadang penasaran juga pada keluarga temanku ini. Mereka tampak bahagia saja. Maka aku berdiam diri di sisi luar rumahnya, tepatnya dekat ruang tengah. Tak ada lampu penerang di luar, maka aku merasa aman dari kecurigaan siapa pun. Sudah lama, piting lampu dibiarkan tak berpenghuni. Hemat listrik menjadi dalih. Gelap menjadi keniscayaan.

Aku mendengar istrinya berkata, ”Pak. Anak-anak minta uang bayaran sekolah bulan ini.”

Kemudian temanku yang sedang menganggur itu meninggalkan istrinya duduk sendiri.

Beberapa saat, ia kembali. Di tangannya menenteng sebuah biola. Temanku lantas menggesek dawai biola itu, dan terdengarlah nada lagu Hymne Guru.

Suara perempuan pun muncul. “Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku…” Aha, istrinya bersenandung syair lagu itu, berpadu dengan bunyi menyayat gesekan biola suaminya.

Aku yang di luar tembok iri dengan kemesraan mereka.

5.

Sebenarnya dia punya keahlian bidang kuliner. Ia pernah menjadi cook di sebuah restoran di luar Jawa. Hanya setahun saja dia bertahan di sana. Entah kenapa, ia memilih pulang kampung. Ia pun kepikiran membuka usaha kuliner yang entah apa jenisnya. Dirinya merasa keahliannya jangan sampai tak terpakai. Tapi ia urungkan niat itu. “Ah, buka usaha, ya kalau langsung laku. Bagaiamana kalau sampai tiga bulan tidak laku."

Temanku punya ketakutan, andai modal dari hutang dan tidak bisa melunasi.

6.

Temanku, si pengangguran itu pernah bercerita kepadaku. Bahwa istrinya pernah hendak menengok seseorang yang beberapa hari lalu melahirkan. Bukan saudara, bukan pula tetangga dekat. Tempatnya agak jauh, bahkan jarang sekali bertemu muka. “Tapi kan nggak enak, Pak. Yang lain sudah ke sana ramai-ramai. Masa kita enggak!”

Kata temanku, ia meminta istrinya tenang saja. “Tidak masalah, kamu tidak perlu menengok orang melahirkan. Tidak perlu menengok bayi itu.”

Istrinya tidak membantah, walaupun tidak setuju. Ia mencoba taat kepada suami.

Setelah satu bulan berlalu, temanku bertanya kepada istrinya,”Apa ada orang yang bertanya, kenapa kamu tidak menengok mereka?”

Istrinya menggeleng.

“Jadi benar kan kataku, tidak apa-apa kan tidak ke sana. Perkara kamu nggak enak, itu cuma perasaanmu saja,” jelas temanku.

Tapi di balik itu, kata temanku kepadaku, ia hanya ingin istrinya hemat pengeluaran belanja. Itu saja.

7.

Walaupun seorang yang tengah menganggur, untuk merokok, ia tetap jalan. Kadang beli eceran, sekali waktu beli bungkusan. Entah dari mana uangnya. Istrinya sudah menasihati, ”Katanya mau berhenti merokok, kenapa belum juga berhenti?”

Perempuan itu ingin, suaminya melihat kenyataan. “Pengangguran kok malah rajin menyulut kretek,” gerundel istrinya.

Tapi temanku berujar, ”Ini merupakan bukti, berhenti merokok itu tidak gampang. Butuh proses. Butuh waktu. Butuh kesabaran, apalagi bagi seorang istri.”

Istrinya cuma mendengarkan. Lantas temanku melanjutkan,  “Kamu harus bersabar seperti pemerintah. Tahu kan? Sampai sekarang tidak pernah mau menutup pabrik rokok. Kenapa? Itu karena pemerintah tahu, menghentikan kebiasaan merokok bangsa ini sebuah pekerjaan berat.”

8.

Tidak ada uang yang cukup, bukan berarti ia tidak berusaha menyenangkan kedua anaknya. Baginya, protein hewani penting untuk asupan mereka. Jika harus beli daging sapi yang harganya sudah meroket, ia angkat tangan. “Tenang saja anakku, nanti malam kita harus makan istimewa,” katanya kepada anak-anaknya. Itu pun didengar oleh istrinya. Menjelang petang ia melipir ke pinggir kali, yang tak jauh dari rumahnya. Ia bawa joran bambu berbenang senur kecil, demikian juga kailnya. Selama hampir satu jam, satu demi satu ikan uceng (Nemacheilus fasciatus) terkumpul pada sebuah kantong.

Ada seperempat kilo, pikirnya. Maka ia menyudahi dan pulang.

Istrinya, tanpa diperintah sudah menyiapkan bumbu, lantas menggorengnya. Malam itu mereka makan bersama satu meja.

“Bapak senang, kalian bisa makan ikan hari ini.” Semua mengangguk.

“Mestinya tiap hari, Pak?” ujar satu anaknya yang perempuan.

“Tiap hari?” sahut Bapaknya. “Jangan, itu kurang bagus. Ikan uceng itu mahal. Sekarang sulit mencarinya. Hari ini bapakmu lagi beruntung saja.”

Ketiga orang yang di dekatnya menatap sambil meneruskan makan.

“Jika setiap hari makan ikan ini, itu sebuah kemewahan. Padahal kita ini keluarga sederhana. Bahkan cenderung sedang miskin.”

Mendengar kata kemewahan, anak-anak lantas lahap menyantap tanpa sendok menu makan malam itu. Sebutir nasi pun tak tersisa di piring. Bahkan, karena ingin mensyukuri nikmatnya makan uceng, anak-anak itu menjilati jari-jari kanannya. Temanku terkesima dibuatnya.

“Nah, pada jari-jari itu ada keberkahan dari yang kamu makan malam ini,” lanjut temanku yang sepertinya tengah teringat sebuah hadits Nabi.

9.

Suatu ketika menjelang maghrib ia melintas di tengah kota dengan motor vespa PX-nya. Mendekati perempatan yang ramai, ia merasakan laju kendaraannya tak enak. Mmm, ban depan kempes. Temanku yakin, itu pasti bocor. Dituntunlah motor gaek itu menuju tukang tambal ban. Beruntung, tak sampai 50 meter, ia menemukan kios tambal ban yang masih buka. Agaknya, tukang tambal ban kurang berkenan menyambutnya. Maklum, menangani motor vespa cukup lama. Apalagi jelang maghrib, enaknya istirahat.

Tapi mungkin karena kasihan, lelaki itu mau menerima pekerjaan itu. “Kalau yang bocor roda belakang, aku pasti menolak,”kata tukang itu.

Memang lama, membongkar dan memasangnya. “Berapa ongkosnya?” tanya temanku.

“Dua belas ribu saja.”

Temanku menyerahkan lembaran 20.000 perak. “Silakan ambil semua. Terima kasih sudah menolong.” Baginya ia sedang mujur. Andai kios itu tutup atau orang itu tidak mau, dirinya bakalan tidak sampai rumah malam itu. Padahal perjalanan masih jauh, dua puluh kilo lagi.

“Semoga bensinnya cukup sampai ke rumah,” gumamnya.

10.

“Ya, Tuhan terima kasih, Engkau telah mempertemukanku dengan tukang tambal yang merelakan waktunya untukku. Betapa mudahnya Engkau memberi kebahagiaan bagi diri yang nista ini.” Ia berdoa setelah mengikuti jamaah maghrib di sebuah masjid, setelah beberapa menit berjalan.

“Aku berikan tambahan kepadanya Ya, Tuhan, dari rejeki yang Kau titipkan kepadaku. Karena, aku pun ingin berbagi kebahagiaan,” lanjut doanya.

11.

Selang beberapa waktu berlalu, seseorang mengajaknya bekerja pada sebuah restoran di Jakarta. “Aku mau. Kapan berangkat?” Temanku menangkap erat tawaran itu.

“Minggu pagi kita berangkat,” jawab kawan temanku.

Berbagai persiapan dilakukan. Hari Minggu pun tiba. Sebelum keluar rumah istrinya berpesan, ”Jangan lupa oleh-olehnya kalau pulang.” Temanku tertawa kecil mendengarnya.

“Pasti. Anak-anak akan aku belikan HP baru!”

Temanku ingin melunasi janjinya dalam hati: kelak jika ada uang, ia akan membelikan HP terbaru. Katanya, ia ingin melihat anaknya seperti teman-temannya: rajin selfie.

Baginya, selfie bisa membuat orang awet muda dan selalu tampak bahagia. 

[caption caption="ikan uceng (Nemacheilus fasciatus) sumber: www.cumbri.com "]

[/caption] 

____ Bumi Cahyana, 10 Maret 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun