Sesaat, aku terpana. Rumahnya berantakan! Pakaian yang belum disetrika menggunung di tempat tidur. Aku bisa melihat, karena pintu kamarnya terbuka dan tak bergorden. Ada juga berbagai benda teronggok di kursi. Dua tivi 20 inci yang sudah almarhum berjejer di meja belakang. Meja ruang tengah berisi berbagai perkakas: tang, obeng, solder, kabel, tinol, korek api. Juga, segelas kopi. Piring yang tampaknya bekas dipakai makan pun tergeletak di meja itu. Istrinya malu, ketika aku datang. Ia segera berbenah. “Orang kok nggak senang beres-beres!” ucap istrinya.
Temanku memandang dengan damai wajah istrinya. “Ah, nanti juga berantakan lagi.”
4.
Kadang penasaran juga pada keluarga temanku ini. Mereka tampak bahagia saja. Maka aku berdiam diri di sisi luar rumahnya, tepatnya dekat ruang tengah. Tak ada lampu penerang di luar, maka aku merasa aman dari kecurigaan siapa pun. Sudah lama, piting lampu dibiarkan tak berpenghuni. Hemat listrik menjadi dalih. Gelap menjadi keniscayaan.
Aku mendengar istrinya berkata, ”Pak. Anak-anak minta uang bayaran sekolah bulan ini.”
Kemudian temanku yang sedang menganggur itu meninggalkan istrinya duduk sendiri.
Beberapa saat, ia kembali. Di tangannya menenteng sebuah biola. Temanku lantas menggesek dawai biola itu, dan terdengarlah nada lagu Hymne Guru.
Suara perempuan pun muncul. “Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku…” Aha, istrinya bersenandung syair lagu itu, berpadu dengan bunyi menyayat gesekan biola suaminya.
Aku yang di luar tembok iri dengan kemesraan mereka.
5.
Sebenarnya dia punya keahlian bidang kuliner. Ia pernah menjadi cook di sebuah restoran di luar Jawa. Hanya setahun saja dia bertahan di sana. Entah kenapa, ia memilih pulang kampung. Ia pun kepikiran membuka usaha kuliner yang entah apa jenisnya. Dirinya merasa keahliannya jangan sampai tak terpakai. Tapi ia urungkan niat itu. “Ah, buka usaha, ya kalau langsung laku. Bagaiamana kalau sampai tiga bulan tidak laku."