Tiap menatap jadwal pelajaran yang tertempel di tembok dekat meja belajar, mentalku menunduk. Tiga pelajaran itu telah menjadi monster pada tiap minggunya. Sekolah menjadikanku penat tak berbilang. Tapi kepada siapa aku berani berucap?
Segelas dawet yang mengucur dari mulut, melewati kerongkongan dan bermuara di lambung mengubah suasana hati. “Aku merasa punya kesegaran. Hatiku berbunga. Mataku bisa melek melebihi lebar daun belimbing!”
Semenjak itu, setiap senin aku bisa melangkah dengan gagah ke sekolah. Fisika, biologi, matematika berubah seperti butiran cendol. Dan pelajaran sejarah, bahasa, olah raga, geografi atau lainnya adalah cairan gula pekat yang bila diadupadukan dengannya, memberi pesona tersendiri. Aku belajar untuk berbaik-baikan dengan kenyataan yang ada.
Aku tahu. Sungguh, tidak akan bisa mengubah gaya bicara Pak guru fisika. Aku tidak pula bisa menghindar dari Ibu guru biologi. Sedangkan matematika tidak mungkin hilang dalam rentang sekolahku. Maka aku mulai berdamai lambat-lambat.
“Kamu sekarang tak murung lagi, kawan?” Teman sekelasku bertanya.
“Ya. Setiap minggu siang aku membeli segelas es dawet jalan Sudirman,” jawabku.
“Segelas es dawet?”
“Ya. Cuma itu yang bisa aku lakukan. Tidak lebih!”
Teman itu hanya menatap wajahku, kemudian sedikit mengangkat bahu. Tak kusangka, dia memeperhatikanku selama ini. Mungkin ia juga menebak perasaanku. Tapi aku diamkan saja.
Pada kemudian waktu kami dikejutkan, ketiga guru: fisika, biologi, matematika, mengatakan, bahwa kelas kami memiliki nilai hasil ulangan yang memprihatinkan. Sebenarnya, kata yang lebih pas adalah memalukan! Rerata kelas tidak sampai angka enam.
“Kelas ini terendah, dibandingkan dengan empat kelas yang lain!”