Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Es Dawet Trotoar Sudirman

13 Februari 2016   13:56 Diperbarui: 1 April 2017   08:57 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.infojajan.com"][/caption]

Di kota ini, dawet yang paling diburu para pembeli berada di sebelah utara trotoar jalan Sudirman, kata teman SMP-ku waktu itu. Mudah saja mencarinya, ujarnya pula. Kamu berjalan dari perempatan Pasar Besar ke arah barat. Setelah dua puluh lima meter, akan ketemu. Penjual itu mangkal menepi di emper toko emas. Tepat bersisian dengan mulut gang kecil.

Waktu itu, aku baru beberapa minggu tinggal di kota itu. Memulai sebagai murid SMP. Datang dari desa, tinggal di rumah saudara tua Bapakku. Belum banyak yang bisa aku tahu tentang seluk beluk kota. Maka saat aku ingin minum es dawet yang enak, teman sekelasku itu menuduhkannya.

Jangan berhadap kamu bisa cepat dapat segelas dawet, kilahnya. Mesti sabar menanti. Harus antre sambil berdiri, jelas temanku itu. Tidak saja lokasinya yang dekat dengan Pasar Besar, maka ramai. Tapi rasanya memang membikin ketagihan. Aku mengiyakan saja ucapannyi. Karena dia tinggal sedari lahir di kota ini. Aku meyakini, dia punya pengalaman cukup di kotanya.

Di bawah sebuah pohon yang belum terlalu besar dekat penjual itu, yang entah pohon apa namanya, aku nongkrong meminum segelas es dawet. Dingin. Manisnya legit. Dan aroma buah nangka menelusup hidung. Pastinya buah nangka asli. Dalam kuwali tempat air gula, potongan buah berwarna kuning itu tampak. Yang aku suka, santannya kental dan terasa gurih. Dan di tempat itu pula, sang penjual memeras parudannya.

Lambat laun, segelas dawet bukan saja pelepas kerinduanku pada minuman tradisional yang kerap aku beli di desa. Segelas dawet tanpa aku sadari telah menjadi cara memecah kejumudan karena pelajaran sekolah yang menyebalkan.

Bayangkan saja, semua hasil ulangan pelajaran IPA buruk: fisika mendapat nilai 4, Biologi 5,5. Untuk matematika, tak jauh dari nilai itu. Hampir satu semester, hasil ulangan belum juga mengalami kemajuan. Bodokah aku? Aku gundah gulana.

Malu. Akulah yang dulu meminta sekolah di kota karena lulus SD berangking tiga. Bapak menyetujui.  Masuklah pada sebuah sekolah negeri favorit.   Tapi pada semester pertama seperti ini, aku sudah mulai ketir-ketir. Cemas. Khawatir.

Masalah utama, aku kurang suka dengan guru mata pelajaran. Pak guru fisika: saat memberi penjelasan seperti bersuara untuk dirinya sendiri. Benar-benar tidak bergema ke seisi ruangan. Papan tulis tak lebih dari lukisan buruk yang bernama rumus-rumus. Itu sangat membikin mataku sepet.

Sedangkan Ibu guru biologi: membikin murid selalu tegang. Jangankan saat mengajar. Mendengar bunyi sepatunya, saat ia hendak memasuki ruang kelas , wajah-wajah kami memburuk. Kaku dan menyedihkan. Kami akan berhadapan dengan seorang perempuan tanpa rasa humor. Roman mukanya membatu. Terkesan amat serius.

Matematika? Janganlah ditanya: ini pelajaran yang sangat menyiksaku terus-menerus. Setidaknya, itu juga dialami oleh banyak teman sekelas.

Tiap menatap jadwal pelajaran yang tertempel di tembok dekat meja belajar, mentalku menunduk. Tiga pelajaran itu telah menjadi monster pada tiap minggunya. Sekolah menjadikanku penat tak berbilang. Tapi kepada siapa aku berani berucap?

Segelas dawet yang mengucur dari mulut, melewati kerongkongan dan bermuara di lambung mengubah suasana hati. “Aku merasa punya kesegaran. Hatiku berbunga. Mataku bisa melek melebihi lebar daun belimbing!”

Semenjak itu, setiap senin aku bisa melangkah dengan gagah ke sekolah. Fisika, biologi, matematika berubah seperti butiran cendol. Dan pelajaran sejarah, bahasa, olah raga, geografi atau lainnya adalah cairan gula pekat yang bila diadupadukan dengannya, memberi pesona tersendiri. Aku belajar untuk berbaik-baikan dengan kenyataan yang ada.

Aku tahu. Sungguh, tidak akan bisa mengubah gaya bicara Pak guru fisika. Aku tidak pula bisa menghindar dari Ibu guru biologi. Sedangkan matematika tidak mungkin hilang dalam rentang sekolahku. Maka aku mulai berdamai lambat-lambat.

“Kamu sekarang tak murung lagi, kawan?” Teman sekelasku bertanya.

“Ya. Setiap minggu siang aku membeli segelas es dawet jalan Sudirman,” jawabku.

“Segelas es dawet?”

“Ya. Cuma itu yang bisa aku lakukan. Tidak lebih!”

Teman itu hanya menatap wajahku, kemudian sedikit mengangkat bahu. Tak kusangka, dia memeperhatikanku selama ini. Mungkin ia juga menebak perasaanku.  Tapi aku diamkan saja.

Pada kemudian waktu kami dikejutkan, ketiga guru: fisika, biologi, matematika, mengatakan, bahwa kelas kami memiliki  nilai hasil ulangan yang memprihatinkan. Sebenarnya, kata yang lebih pas adalah memalukan! Rerata kelas tidak sampai angka enam.

“Kelas ini terendah, dibandingkan dengan empat kelas yang lain!”

Ketiga guru itu berkata sama, membanding-bandingkan. Kami tercengang. Serentak, tanpa aba-aba wajah kami menelungkup di atas meja.

Jika matematika, fisika atau biologi bernila buruk, artinya kami sekumpulan anak-anak bodoh. Pintar sejarah, olah raga, menggambar, atau bahasa belumlah pintar sesungguhnya. Telinga ini sering mendengar, bahwa disebut pintar jika nilai matematika bagus, fisika bagus. Pokoknya semua yang berhubungan dengan ilmu alam mendapat nilai bagus: berarti pintar.

Segenap penghuni kelas lunglai. Mukanya mengerucut. Bulu alisnya hampir rontok karena terlalu sering mengernyitkan dahi. Tidak ada senyum lagi. Bahkan selera humor pun lenyap. Kami seperti memindahkan kuburan ke dalam ruang kelas.

“Apa kita akan begini terus?” ketua kelas memecah kehampaan.

“Tidak!” aku bergegas menyahut.

“Lantas?” tanyanya seperti ingin segera mendapat jawaban.

“Hari minggu kita kumpul di perempatan Pasar Besar. Kita beli es dawet ramai-ramai!”

“Piknik?” tanyanya lagi

“Kira-kira begitu.” Jawabku.

Untuk urusan seperti ini, kelas kami paling cepat mengambil keputusan. Semua setuju.

Menjelang pukul sebelas siang, kami sudah mendekat penjual es dawet. Cukup padat. Dan menjadi semakin padat dengan kedatangan segerombolan anak satu kelas kami. “Dibungkus plastik saja. Dua puluh lima, jumlahnya,” kata ketua kelas.
“Hah. Banyak sekali?” Lelaki tua penjual es dawet itu agaknya terkejut. Tapi kemudian tersenyum setelah melihat gentong penampung dawet. “Sepertinya masih cukup,” ujarnya.

Di sepanjang trotoar itu kami berderet. Duduk menatap lalu lintas. Ada juga beberapa yang berdiri. Sebungkus es dawet siang itu meredam rasa terpinggirkan yang beberapa hari menjadi mendung bagi kelas kami.

Senin keesokan hari, kami sudah bisa bertemu. Wajah kami berangsur-angsur pulih. Ada senyum. Ada tawa. Ada-ada saja yang bisa membuat kami bergurau. Tampaknya, tekanan batin karena hasil capaian ketiga pelajaran sudah mulai mengempis.

“Benarkah karena es dawet itu, kawan?” seseorang bertanya padaku.

“Itu yang aku yakini,” jawabku. Dan ia seperti setengah percaya.

Seiring waktu, setiap minggu serombongan dari kami rutin mendatangi penjual es dawet itu. Kami menjadi rilek. Beban ketiga pelajaran memudar. Kami mulai menapaki perbaikan. Setidaknya, beberapa ulangan harian kami sudah menembus angka enam. Itu prestasi yang tak terperi. Angka enam adalah istimewa.

Suatu waktu aku bertemu dengan penjual dawet itu yang sudah makin menua. Pasti sudah lebih dari enam puluh lima tahun, batinku. Aku bertandang ke rumahnya, menemani seorang teman yang hendak riset tentang pedagang kecil sepanjang trotoar Sudirman. Kami satu kampus, tetapi beda jurusan.

Tak sekali pun aku berkata padanya, bahwa dulu aku sering membeli dawetnya. Aku nimbrung ingin tahu cerita awal dia berjualan dawet.

“Suatu hari kami mendengar anak menangis. Lama ia tak mau diam. Rontanya membuat orang tuanya kebingungan. Tidak jelas apa yang diminta anak itu.” Lelaki yang pipinya keriput dan peyot itu memulai memutar balik perjalanan hidupnya.

Lanjutnya, Istriku kemudian keluar rumah membawa segelas dawet. Ia iming-imingi itu jika ia mau berhenti menangis. Dan benar-benar berhenti seketika itu, katanya lagi. Kami sangat senang, termasuk orang tuanya. Sejak itu kami berpikir, inikah cara kami untuk bisa menyenangkan orang lain?

Lelaki itu berterusterang, doanya sederhana saja setiap waktu: bisa menyenangkan banyak orang.

Sebagai buruh harian waktu itu, penghasilannya tak memadai untuk memberi sejenis harta benda. Ilmu tak seberapa, lantaran hanya sampai Sekolah Rakyat. Tapi apakah tidak ada cara lain yang mudah untuk itu? Ia bertanya kepada istrinya. Waktu itu istrinya menjawab: kita berdoa saja. Bukankah itu cara paling mudah yang bisa kita lakukan sekarang.

Katanya, ia pernah bimbang dengan mimpi yang hadir saat tidur malamnya. Seseorang berjanggut putih, bersorban dan berjubah putih berkata padanya,”Buat saja dawet.” Dalam mimpi itu, lelaki bersorban mengajarinya. Semua bahan seketika sudah di hadapannya. Membuatnya pun terlihat mudah dan cepat.

Lelaki itu terpana dengan cahaya pada sekujur tubuh lelaki bersorban itu. Setelah selesai, ia pamitan, dan menghilang laksanana kilatan cahaya. Mimpi pun berakhir.

Betapa aku akhirnya mengenang masa-masa itu. Sekian tahun kemudian, anak lelakiku mengeluhkan tentang  pelajaran matematika dan fisika.

“Pusing Pak, tiap hari makan rumus dan angka!” Wajahnya murung.

Ah, kenapa juga ia mengikuti jejak Bapaknya, batinku. Aku sedikit kecewa pada Tuhan, kenapa kemampuan eksakta anak ini dimirip-miripkan dengan keterbatasan orang tuanya sewaktu sekolah.

Tapi. “Tenang saja,” kukatakan dengan lembut pada anak itu.

Dengan bersepeda motor berboncengan, aku dan anakku mendatangi kota tempatku dulu bersekolah. Hampir tiga puluh kilo menempuhnya dari rumah. Sasarannya perempatan Pasar Besar. Kemudian ke arah barat dan memarkir motor di depan sebuah toko emas.

“Kita beli es dawet itu.” Aku mengajak anakku mendekat.

Terlihatlah seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi tengah menunggu satu pikul dagangan dengan riasan cat hijau muda pada wadah anyaman bambu, sebagaimana aku dulu melihatnya.

“Orangtua kami sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Akulah yang melanjutkan usaha ini.” Perempuan itu menjawab pertanyaanku: Apakah Ibu anak dari orang tua yang bertahun-tahun jualan es dawet di tempat ini?”

Aku tak bilang pada anakku, kenapa mesti jauh-jauh membeli es dawet di sini. Aku hanya ingin, dawet itu bekerja secara alamiah tanpa sugesti dari Bapaknya.

Tapi aku kecewa pada anakku. “Aku nggak mau beli es dawet, Pak,” ungkapnya tanpa basa-basi.

Lantas, anak lelakiku berjalan ke arah barat lagi, sekitar hampir sembilan meter. Ia mendekati sebuah etalase berangka aluminium yang memajang tulisan Es Cappucino Cincau. Dan ia membeli minuman itu.

Aku hanya ternganga, menatapnya dari kejauhan. (***)

 

 

 

_____Bumi Cahyana, 13 Februari 2016

 

Gambar: www.infojajan.com

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun