Katanya, ia pernah bimbang dengan mimpi yang hadir saat tidur malamnya. Seseorang berjanggut putih, bersorban dan berjubah putih berkata padanya,”Buat saja dawet.” Dalam mimpi itu, lelaki bersorban mengajarinya. Semua bahan seketika sudah di hadapannya. Membuatnya pun terlihat mudah dan cepat.
Lelaki itu terpana dengan cahaya pada sekujur tubuh lelaki bersorban itu. Setelah selesai, ia pamitan, dan menghilang laksanana kilatan cahaya. Mimpi pun berakhir.
Betapa aku akhirnya mengenang masa-masa itu. Sekian tahun kemudian, anak lelakiku mengeluhkan tentang pelajaran matematika dan fisika.
“Pusing Pak, tiap hari makan rumus dan angka!” Wajahnya murung.
Ah, kenapa juga ia mengikuti jejak Bapaknya, batinku. Aku sedikit kecewa pada Tuhan, kenapa kemampuan eksakta anak ini dimirip-miripkan dengan keterbatasan orang tuanya sewaktu sekolah.
Tapi. “Tenang saja,” kukatakan dengan lembut pada anak itu.
Dengan bersepeda motor berboncengan, aku dan anakku mendatangi kota tempatku dulu bersekolah. Hampir tiga puluh kilo menempuhnya dari rumah. Sasarannya perempatan Pasar Besar. Kemudian ke arah barat dan memarkir motor di depan sebuah toko emas.
“Kita beli es dawet itu.” Aku mengajak anakku mendekat.
Terlihatlah seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi tengah menunggu satu pikul dagangan dengan riasan cat hijau muda pada wadah anyaman bambu, sebagaimana aku dulu melihatnya.
“Orangtua kami sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Akulah yang melanjutkan usaha ini.” Perempuan itu menjawab pertanyaanku: Apakah Ibu anak dari orang tua yang bertahun-tahun jualan es dawet di tempat ini?”
Aku tak bilang pada anakku, kenapa mesti jauh-jauh membeli es dawet di sini. Aku hanya ingin, dawet itu bekerja secara alamiah tanpa sugesti dari Bapaknya.