Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Es Dawet Trotoar Sudirman

13 Februari 2016   13:56 Diperbarui: 1 April 2017   08:57 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sepanjang trotoar itu kami berderet. Duduk menatap lalu lintas. Ada juga beberapa yang berdiri. Sebungkus es dawet siang itu meredam rasa terpinggirkan yang beberapa hari menjadi mendung bagi kelas kami.

Senin keesokan hari, kami sudah bisa bertemu. Wajah kami berangsur-angsur pulih. Ada senyum. Ada tawa. Ada-ada saja yang bisa membuat kami bergurau. Tampaknya, tekanan batin karena hasil capaian ketiga pelajaran sudah mulai mengempis.

“Benarkah karena es dawet itu, kawan?” seseorang bertanya padaku.

“Itu yang aku yakini,” jawabku. Dan ia seperti setengah percaya.

Seiring waktu, setiap minggu serombongan dari kami rutin mendatangi penjual es dawet itu. Kami menjadi rilek. Beban ketiga pelajaran memudar. Kami mulai menapaki perbaikan. Setidaknya, beberapa ulangan harian kami sudah menembus angka enam. Itu prestasi yang tak terperi. Angka enam adalah istimewa.

Suatu waktu aku bertemu dengan penjual dawet itu yang sudah makin menua. Pasti sudah lebih dari enam puluh lima tahun, batinku. Aku bertandang ke rumahnya, menemani seorang teman yang hendak riset tentang pedagang kecil sepanjang trotoar Sudirman. Kami satu kampus, tetapi beda jurusan.

Tak sekali pun aku berkata padanya, bahwa dulu aku sering membeli dawetnya. Aku nimbrung ingin tahu cerita awal dia berjualan dawet.

“Suatu hari kami mendengar anak menangis. Lama ia tak mau diam. Rontanya membuat orang tuanya kebingungan. Tidak jelas apa yang diminta anak itu.” Lelaki yang pipinya keriput dan peyot itu memulai memutar balik perjalanan hidupnya.

Lanjutnya, Istriku kemudian keluar rumah membawa segelas dawet. Ia iming-imingi itu jika ia mau berhenti menangis. Dan benar-benar berhenti seketika itu, katanya lagi. Kami sangat senang, termasuk orang tuanya. Sejak itu kami berpikir, inikah cara kami untuk bisa menyenangkan orang lain?

Lelaki itu berterusterang, doanya sederhana saja setiap waktu: bisa menyenangkan banyak orang.

Sebagai buruh harian waktu itu, penghasilannya tak memadai untuk memberi sejenis harta benda. Ilmu tak seberapa, lantaran hanya sampai Sekolah Rakyat. Tapi apakah tidak ada cara lain yang mudah untuk itu? Ia bertanya kepada istrinya. Waktu itu istrinya menjawab: kita berdoa saja. Bukankah itu cara paling mudah yang bisa kita lakukan sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun