Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Es Dawet Trotoar Sudirman

13 Februari 2016   13:56 Diperbarui: 1 April 2017   08:57 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap menatap jadwal pelajaran yang tertempel di tembok dekat meja belajar, mentalku menunduk. Tiga pelajaran itu telah menjadi monster pada tiap minggunya. Sekolah menjadikanku penat tak berbilang. Tapi kepada siapa aku berani berucap?

Segelas dawet yang mengucur dari mulut, melewati kerongkongan dan bermuara di lambung mengubah suasana hati. “Aku merasa punya kesegaran. Hatiku berbunga. Mataku bisa melek melebihi lebar daun belimbing!”

Semenjak itu, setiap senin aku bisa melangkah dengan gagah ke sekolah. Fisika, biologi, matematika berubah seperti butiran cendol. Dan pelajaran sejarah, bahasa, olah raga, geografi atau lainnya adalah cairan gula pekat yang bila diadupadukan dengannya, memberi pesona tersendiri. Aku belajar untuk berbaik-baikan dengan kenyataan yang ada.

Aku tahu. Sungguh, tidak akan bisa mengubah gaya bicara Pak guru fisika. Aku tidak pula bisa menghindar dari Ibu guru biologi. Sedangkan matematika tidak mungkin hilang dalam rentang sekolahku. Maka aku mulai berdamai lambat-lambat.

“Kamu sekarang tak murung lagi, kawan?” Teman sekelasku bertanya.

“Ya. Setiap minggu siang aku membeli segelas es dawet jalan Sudirman,” jawabku.

“Segelas es dawet?”

“Ya. Cuma itu yang bisa aku lakukan. Tidak lebih!”

Teman itu hanya menatap wajahku, kemudian sedikit mengangkat bahu. Tak kusangka, dia memeperhatikanku selama ini. Mungkin ia juga menebak perasaanku.  Tapi aku diamkan saja.

Pada kemudian waktu kami dikejutkan, ketiga guru: fisika, biologi, matematika, mengatakan, bahwa kelas kami memiliki  nilai hasil ulangan yang memprihatinkan. Sebenarnya, kata yang lebih pas adalah memalukan! Rerata kelas tidak sampai angka enam.

“Kelas ini terendah, dibandingkan dengan empat kelas yang lain!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun