Mereka belum mendengar alasanku. Tapi, aku pun ragu, apakah jika aku menjelaskan, mereka akan memahami. “Aku ini kesepian. Hanya dengan perempuan itu aku beroleh rasa damai. Kalian pasti tidak tahu, bagaimana penderitaanku.”
Ketua RT mendatangiku. Dua orang menemaninya. Mungkinkah karena ada rasa takut, ia tidak sendirian? Aku berpikir seperti itu.
“Kamu sudah membuat orang-orang di sini ketakutan, Rasam. Setiap mau lewat depan rumahmu malam-malam, mereka urung. Tolong, kembalikan saja tulang-tulang itu ke tempatnya!”
“Tidak, Pak. Biarkan di sini. Dia yang menemaniku setiap hari!”
Mereka gagal mempengaruhiku. Dan aku akan tetap kukuh dengan keputusanku.
Sampai akhirnya, Kepala Desa turun tangan. Keresahan di tengah masyarakat sudah menyeruak, kilahnya. Seperti tidak ada urusan lain, selain membincangkan diriku dan tulang belulang yang tertata di atas sebuah kotak di kamarku.
“Kamu baru selesai bertapa, ya! Mau jadi paranormal?” Beliau bertanya. Geram.
“Tidak Pak. Tidak ada urusan dengan dukun. Aku hanya ingin selalu bersama istriku. Itu saja.”
Kepala Desa tak mampu membujukku. Semua dalil-dalil yang keluar dari mulutnya tak aku gubris, sampai akhirnya dia pulang.
Makin hari, suasana warga desa terlihat gerah. Setiap yang lewat, mereka menatap tajam rumahku. Aku merasakan guratan rasa benci pada raut wajahnya.
“Gila….! Edan…! Musyrik!