Aku kaget. Pikiranku berputar menebak arah pembicaraan.
“Mas, apa tidak sebaiknya kita menikah saja.” Ia kembali bersuara. Tetapi agak pelan. “Kita bisa membesarkan warung. Kelak bisa membeli sawah di desa, jika sewaktu-waktu bosan di Jakarta, kita bisa bertani di sana.”
Aku terperangah, seperti mendengar suara istriku lagi. Sebagaimana dulu ia menuliskan impiannya: punya sawah, bertani, menanam jagung dan juga sayur. Walau tak sampai, tapi itu membekas dalam ingatanku. Dan kini, impian itu kembali hadir di depan mata, dari seorang perempuan pemilik warung.
Entahlah apa sebabnya. Mulutku bergerak cepat menjawab tantangannya. “Baik. Aku menerima tawaran menikah.”
Tak berapa lama, aku mohon diri. Pulang. Kakiku seakan mengambang berjalan menuju kontrakan. Sepanjang melangkah, ada ketidakpercayaan bahwa aku baru saja menerima ajakan menikah dari seorang janda beranak dua. Dan perempuan itu, sebelas tahun lebih tua dariku. (***)
Bumi Cahyana, 22 Januari 2016
Ilustrasi: www.laporanpenelitian.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI