“Ini bisa menjadi penajem. Biar tajam. Biar laris,” Aku pun mencandainya, ketika tas itu akhirnya aku bawa ke sana pada malam hari saat warung mulai sepi. Ia meletakkannya pada bagian kolong meja tempat biasa para pelanggan makan. Tidak terlihat dari luar, karena sisi yang satu itu tertutup kalsiboard memanjang.
Dua bulan sesudahnya, proyek selesai. Dan aku hendak berkelana lagi, sampai menemukan kembali pekerjaan.
Aku segera berpamitan pada pemilik warung. “mBakyu, aku mau pergi. Proyeknya sudah selesai. Aku mau ambil tas itu.”
Ia memintaku menunggu. “Duduk saja dulu. Jangan buru-buru pulang. Tunggu, sampai warung sepi.”
Aku mengiyakan saja. Tiga batang rokok tuntas menemani penantian itu. Sampai akhirnya, warung sudah sepi. Dan perempuan itu bicara.
“Kalau bisa, barang itu jangan dibawa pulang, Mas.”
Aku tersenyum. Kutatap pemilik warung yang seperti tidak tampak lelah di wajahnya. Aku tidak terus terang tentang isi tas itu padanya. Aku ragu, andai kukatakan bahwa tas itu bermuat tulang belulang istriku, pasti ia langsung menolak.
“Wah nggak bisa. Itu penting untuk aku juga.”
“Ssst. Ini serius," ujarnya sambil menengok ke kanan. Ke pintu arah dalam. "Semenjak tas itu ada di warung ini, aku merasakan perubahan. Pembelinya makin banyak. Tiap hari dagangan habis. Laris. Banyak pelanggan baru, anak-anak PT.”
“Oh,” Aku terkesiap mendengarnya.
“Begini, bagaimana kalau aku beli saja?” Aku sedikit mengerakkan punggung ke belakang.
“Tidak. Maaf, biar aku bawa saja tas itu ke manapun pergi.”