Perempuan itu menampakkan rasa kecewa. Aku tak enak hati dengan hal ini. Sampai akhirnya, aku harus katakan padanya.
“Maaf. Aku harus terus terang. Tas itu bukan penajem. Bukan penglaris. Isinya cuma tulang-tulang.”
Ia mengernyitkan dahi. “Tulang apa?”
“Tulang almarhum istriku. Aku tak ingin pisah dengannya, maka aku bawa ke mana-mana.”
“Astaga!” Kemudian perempuan itu terdiam. Air teh yang sudah mendingin di dalam gelas ia tenggak, menghabiskan separuh yang tersisa.
Sedangkan aku sekarang lega, sudah terus terang padanya. Setidaknya, aku akan dengan mudah membawa tas itu. Menampik tawaran perempuan pemilik warung.
“Kalau begitu, apa tidak sebaiknya…..” Ia berhenti. Terlihat ragu untuk melanjutkan yang hendak diucap.
“Sebaiknya bagaimana?” Aku memancing pertanyaan. Aku ingin segera pulang, rasanya sudah terlalu lama di warung ini.
Sejenak senyap.
Aku mengambil sebatang rokok lagi dan menyalakannya.
Dua pekerjanya sudah ada di dalam. Perempuan itu bersuara lirih,“Tampaknya kita berdua punya kesamaan. Sama-sama sendiri. Kesepian,” ucapnya.