Santer terdengar, beberapa pasangan suami istri bertengkar. Kemudian waktu, di antara keduanya mendiamkan satu sama lain. Rumah tangga menjadi terasa dingin. Aura buruk mulai menyebar seantero RT. 05 RW. 03.
Dasar Bu RT, ia bertelinga awas. Para pembisik kepercayaannya sudah memberi laporan. Inilah strategi first lady tingkat RT dalam membantu kinerja suaminya: mengumpulkan laporan dan mengolah data. Lantas, membincangkannya dengan Pak RT, suaminya itu. Mencari solusi.
“Kasusnya sama, Pak. Beberapa suami ternyata menyimpan pakaian dalam perempuan.”
“Mmmm. Cukup aneh. Menggelitik. Coba, lanjutkan.”
“Ada yang menyimpan di bawah bantal. Di bawah kasur. Di tumpukan pakaian di dalam lemari.”
“Terus?”
“Para istri kan kaget. Ukuran dan kualitasnya beda dengan milik dirinya. Ada apa dengan suamiku. Begitu ujar mereka.”
“Terus?”
“Para suami tak acuh dengan kecurigaan istri. Jadilah pertengkaran di antara mereka!”
Pak RT menjentikkan rokoknya di atas asbak. Dua kali ujung telunjuk kanannya bergerak. Ia menghisap rokok filternya sejenak kemudian. Perlahan membumbungkan asap dari celah kedua bibirnya sembari menyiutkan mata.
“Tapi ini urusan rumah tangga, Bu. Kita tidak bisa ikut campur.”
Perbincangan mereka terhenti. Dua orang tampaknya ada keperluan mengurus berkas. Pak RT menemui mereka di ruang tamu.
***
Seluruh jajaran petinggi RT berkumpul pada suatu malam yang sedikit larut. Menggunakan ruang sekretariat RT, yang berdampingan dengan lapangan badminton.
“Mohon kepada semuanya untuk mematikan HP. Biar kita fokus,” pinta Pak RT memulai rapat.
“Mohon pula, Pak RT,” Seksi Kesra menyergap. “Rokok Pak RT dimatikan juga. Biar kita fokus.”
“Oh,…” Pak RT terkesiap. “Terimakasih, sudah mengingatkan.”
Rapat ini terhitung darurat. Kemarin hari, Pak RT mendapat laporan dari Hansip Jamari bahwa ada tangan jahil yang berkeliaran di lingkungannya. “Pencurian, Pak RT!”
Hansip Jamari mendapat laporan dari Haji Sanusi, salah satu juragan kontrakan, bahwasannya satu penghuninya kemalingan. Sebenarnya, Haji Sanusi tidak menerima langsung laporan itu, ia diberitahu oleh istrinya, bahwa beberapa barang milik penghuni kontrakan Nomor 7 raib.
“Punya Nona Noni, Ayah.”
Lelaki itu mencoba mengingat-ingat. “Noni. Noni. Noni….”
“Itu lo, yang baru satu setengah bulan masuk,” Bu Sanusi menjelaskan.
“Oh, ya. Saya ingat. Noni.” Ia membuat jeda, menelan air liur. “Barang-barang apa yang hilang?”
“Kata Nona Noni….” Bu Sanusi menghentikan laju kalimatnya.
“Kok jadi diam?” usik sang suami.
“Mmm. Anu. Pakaian dalamnya dicuri. BH sama sempak.”
“Astaga!” Haji Sanusi mengeleng-gelengkan kepalanya. Ia menarik nafas dalam-dalam. “Baru kali ini ada kejadian di kontrakan kita kan, Bu.”
Suasana rapat masih mendengarkan paparan Pak RT. Dua orang menempatkan telapak tangannya, menutup bibir yang menganga. Segelas kopi di hadapan mereka belum mampu menetralisir rasa kantuknya. Jarum dinding tengah berlari menuju angka 11.45 malam. “Ooaheem!” Bendahara RT menguap, suaranya cukup kencang.
“Ini sebenarnya masuk delik pidana. Karena ada unsur secara sengaja mengambil barang milik orang lain. Tapi saya, sebagai Ketua RT, meminta pendapat semua pengurus RT, bagaimana mengatasi ini. Kita coba, jangan sampai urusan ini sampai ke pengadilan.”
“Sebentar Pak RT. Apa tidak lebih baik, rapat ini bersifat tertutup saja. Mengingat ada unsur etika dan estetika dalam kasus ini,” Sekretaris RT memberi usul.
“Terserah yang hadir. Setuju atau tidak.”
Dalam ruangan, mereka beradu pandang. Satu demi satu ditanya oleh Pak RT. Tujuh orang yang hadir sependapat. “Baiklah, rapat malam ini dinyatakan tertutup!”
Pak RT memanggil Hansip Jamari. “Jam, rapat kali ini bersifat tertutup. Tolong kamu tunggu di luar. Jaga jangan ada yang mengganggu.”
“Siap, Pak RT!”
Dua orang yang hadir kemudian menarik gorden, menutupi jendela kaca. Hansip Jamari merapatkan pintu dengan seksama, kemudian meraih kursi plastik, menjaga pintu sambil menyalakan rokok kretek Djarum Coklat.
***
Kedatangan Nona Noni di kontrakan Haji Sanusi menjadi buah bibir warga RT. Membandingkan dengan sudah-sudah, para warga menilai pendatang baru ini istimewa.
“Seksi,” ucap Pak Simamora, sedikit berkelakar.
“Kalau orang Jawa bilang, ini lencir kuning,” kata Kusmono.
“Ah, ini cenderung oriental,” Felix, mahasiswa sosiologi ini ikut memberi komentar.
Satu yang membuat setiap lelaki termangu-mangu adalah senyumnya. Selalu manis laksana gula aren. “Halo… Nona Noni.” Begitulah pancingan laki-laki terhadapnya.
Dan, kulit kuning yang cenderung putih, dengan alur pembuluh samar-samar kehijauan yang nampak pada betisnya saat mengenakan rok span, kerap membuyarkan konsentrasi. Tampaknya, para warga, utamanya kaum lelaki limbung tak berdaya. Apalagi jika aroma tubuhnya menerusup ke hidung, para lelaki terdiam beberapa detik. Pikirannya menggantung.
“Ini yang bikin kita melek!”
“Melayang nggak karuan!”
“Tapi kenapa baru sekarang datang. Saya kagok, sudah punya istri!”
Reaksi semacam itu, jika ditulis panjang akan menghabiskan beberapa halaman kertas folio bergaris.
Akan tetapi, entah ide datang dari mana dan dicetuskan oleh siapa, empat orang lelaki beristri bersekongkol mencuri pakaian dalam perempuan perawan itu.
Nona Noni bisa tahu ada yang ganjil untuk urusan 'daleman'. Asal tahu, pakaian dalam miliknya semua diberi nomor urut dengan spidol permanen. Dia tumpuk di lemari sesuai nomor urut. Jadi, ketika tidak ada, ia cepat mengetahui. Pada minggu pertama, BH nomor urut 5 hilang. Beberapa waktu kemudian, sempak nomor urut 9 yang hilang. Setiap minggu selalu saja ada yang lenyap tak jelas rimbanya.
“Ada yang mencuri?” ia mulai curiga. “Masak sih, mencuri pakaian dalam!” Antara percaya atau tidak, tapi kenyataannya demikian. Maka ia segera mendatangi Bu Sanusi, istri pemilik kontrakan.
“Waduh, Nona Noni. Ibu malu mendengarnya. Mencuri kok daleman perempuan?”
“Tapi begitulah, Bu Haji. Setiap saya mengambil jemuran di depan kontrakan, selalu ada daleman yang hilang. Kenapa nggak ambil celana jeans saja, kan itu mahal.”
***
Situasi rapat tertutup pengurus RT masih mendengarkan argumentasi dari berbagai sudut pandang: yuridis, sosiologis dan psikologis.
“Alangkah baiknya kita lapor ke polisi saja, biar ada efek jera.” Pak Seksi Keamanan bicara.
“Jangan, malulah kita. Nama baik warga RT, secara keseluruhan harus dijaga.”
“Kalau polisi bisa menemukan dua alat bukti yang cukup, mereka pasti menetapkan status tersangka, mengajukan ke Kejaksaan. Wah, kita semua akan dibikin repot!”
“Bagaimana kalau orang yang terindikasi mencuri, kita dekati. Suruh minta maaf!”
“Tapi bagaimana memastikan orang itu. Tanpa petunjuk yang kita miliki, kita bisa dituduh memfitnah.”
“Bagaiamana kalau perempuan-perempuan yang katanya bertengkar dengan suami, kita mintai keterangannya?”
“Oh, jangan. Nanti memancing kecemburuan. Kita dikira sedang bersekongkol.”
Perdebatan panjang hingga pukul 01.08 dini hari. Belum ada kesepakatan pemecahan masalah. Semua sudah keburu mengantuk. Dan di tempat itu pula mereka menggelar karpet. Tidur bersama, menikmati akhir pekan.
Mereka hanya sepakat: untuk belum sepakat. Demikian hasil rapat itu.
***
Namanya saja lingkungan RT, berita kasus ini mulai menyebar dari pintu ke pintu. Orang-orang bukan prihatin, malah mau memastikan: seperti apakah pakaian dalam Nona Noni.
Ada yang menjadi mata-mata, pemberi informasi saat pakaian Nonan Noni berderet di depan kontrakan setelah dicuci. Biasanya, Nona Noni menggantungkannya pada malam hari. sesudahnya, ia istirahat, menonton tivi, internetan atau tidur. Sampai akhirnya panas matahari mengeringkan jemuran itu, diambilah dan dibenahi keesokan hari.
Nona Noni makin melihat keanehan. Beberapa laki-laki secara tanpa malu-malu menatapi jemurannya. Ada yang berjalan sambil tersenyum. Berhenti sejenak. Bahkan memotret dengan kamere HP-nya pun dilakukan. Ia melihat itu, dari balik tirai jendera kontrakan. Ada apa? Semua tampak melihat jemuran, pikirnya.
“Astaga. Daleman!” ia baru ngeh. Insting keperempuanannya memberitahu.
Perempuan manis ini menjadi risih. Privasinya mulai terganggu. Maka, ia mengajukan permohonan ke Haji Sanusi. “Saya mau pindah kontrakan saja, Pak Haji. Ada teman sekantor yang sebelah kamarnya tidak terisi. Saya mau pindah ke sana.”
Sedikit orang yang tahu kepindahannya pada akhir bulan. Nona Noni melakukannya pagi buta. Seorang lelaki, teman karib, membawa mobil pick up mengangkut barang-barangnya.
Pada hari berikutnya, banyak warga kaget. Kontrakan Nona Noni gelap dan sepi. Belum banyak warga yang tahu, kecuali Haji Sanusi dan istrinya. Perempuan itu berpesan. “Mohon, jangan bocorkan kepindahan saya, ke siapapun.”
Sepasang pemilik kontrakan itu mengiyakan.
Kini, tiap laki-laki yang punya niat melihat daleman Nona Noni kecewa. Tak ada jemuran. Tak ada yang dikhayalkan. Mereka geregetan, penasaran dan meradang.
Pak RT mendatangi Haji Sanusi. “Pak Haji, tentang Nona Noni, nih. Bagaimana caranya, biar urusan rumah tangga warga bisa direda.”
“Wah, Pak RT. Woles, nyantai saja. Urusan ini selesai dengan sendirinya!”
“Maksud Pak Haji…”
Haji Sanusi berucap lirih, menjelaskan keadaan kontrakan terkini. “O, ya sudah. Kebeneran banget.”
“Jadi seperti pegadaian. Memecahkan masalah tanpa masalah!” lanjut Pak RT. Keduanya pun tertawa.
Kepindahan Nona Noni akhirnya menyeruak. Kekecewaan para lelaki menggumpal sesaat. Kemudian realistis. Tapi hatinya lemas. Sementara, para ibu berbunga-bunga. Sesuka-sukanya, mereka seakan kembali menjadi bidadari dalam rumah tangga, setelah sekian waktu terpinggirkan semenjak kehadiran Nona Noni di kontrakan Haji sanusi.
Diam-diam ada yang merasa beruntung. Siapa? Ya, empat orang yang telah mencuri pakaian dalam Nona Noni. Mereka menyimpan. Membungkusnya dengan penuh hikmat.
Mereka menaruh harapan yang besar. “Hanya dengan itu, harapan Bapak-bapak akan tercapai.” Pria tua berjanggut panjang putih, berpakaian serba hitam memberikan syarat bagi keempat tamunya pada suatu malam. Mereka warga RT, yang karena keinginan memperbaiki keturunan: agar punya cucu cantik, terkenal, sering muncul di televisi bak selebriti, secara berombongan mendatangi seorang paranormal.
“Ambilah sembunyi-sembunyi pakaian dalam perempuan yang kecantikannya mengagumkan. Kemudian simpan di sekitar kamar. Usahakan agar selalu wangi.” Begitu syarat dari paranormal tadi. Dan mereka mengikuti petunjuk itu dengan kemantapan diri.
_______ Bumi Cahyana, 7 Januari 2016
gambar: newyorker.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H