“Kata Nona Noni….” Bu Sanusi menghentikan laju kalimatnya.
“Kok jadi diam?” usik sang suami.
“Mmm. Anu. Pakaian dalamnya dicuri. BH sama sempak.”
“Astaga!” Haji Sanusi mengeleng-gelengkan kepalanya. Ia menarik nafas dalam-dalam. “Baru kali ini ada kejadian di kontrakan kita kan, Bu.”
Suasana rapat masih mendengarkan paparan Pak RT. Dua orang menempatkan telapak tangannya, menutup bibir yang menganga. Segelas kopi di hadapan mereka belum mampu menetralisir rasa kantuknya. Jarum dinding tengah berlari menuju angka 11.45 malam. “Ooaheem!” Bendahara RT menguap, suaranya cukup kencang.
“Ini sebenarnya masuk delik pidana. Karena ada unsur secara sengaja mengambil barang milik orang lain. Tapi saya, sebagai Ketua RT, meminta pendapat semua pengurus RT, bagaimana mengatasi ini. Kita coba, jangan sampai urusan ini sampai ke pengadilan.”
“Sebentar Pak RT. Apa tidak lebih baik, rapat ini bersifat tertutup saja. Mengingat ada unsur etika dan estetika dalam kasus ini,” Sekretaris RT memberi usul.
“Terserah yang hadir. Setuju atau tidak.”
Dalam ruangan, mereka beradu pandang. Satu demi satu ditanya oleh Pak RT. Tujuh orang yang hadir sependapat. “Baiklah, rapat malam ini dinyatakan tertutup!”
Pak RT memanggil Hansip Jamari. “Jam, rapat kali ini bersifat tertutup. Tolong kamu tunggu di luar. Jaga jangan ada yang mengganggu.”
“Siap, Pak RT!”