Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah Coklat Tua

21 Desember 2015   17:18 Diperbarui: 21 Desember 2015   17:18 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberuntungan. Ia mengingat kembali satu masa. Ada tiga: Jurusan Akuntansi, Gajah Mada, beasiswa: ia mengenang keberuntungan masa kuliahnya yang ia tempuh tak sampai lima tahun itu. Dan ia baru menyadari kemudian, kenapa ibunya selalu mengingatkan, bahkan lebih terasa mendesak untuk menentukan pilihan. “Ibu ingin kamu kuliah. Dari rumah ini harus ada yang kuliah.”

Wajah Aiman terasa kaku. Tarikan nafas menjadi pendek. Menjadi bupati? Atau…wakil bupati? Ah, apakah harapan ibu kelak akan menjadi kenyataan lagi. Ia gundah, bertanya dalam hati.

“Bukankah ibu sering menyimak berita. Tentang pejabat yang diadili karena korupsi?”

Kali ini, sang ibu yang menghela nafas.  Agak panjang. Ia memegang gagang gelas, mengangkat dan menyeruput teh hangat. Uap panasnya sudah melemah. Tapi ia tetap meniup permukaan air minum itu.

“Aiman. Ingatkah kamu, dulu. Apakah sewaktu mau menikah, kamu memikirkan perceraian.”

Lelaki ini terdiam. Ia mencoba memaknai perkataan ibunya: risiko.  Setiap keputusan punya konsekuensi sendiri.  Semua tinggal memilih.  Seperti satu ujung pensil yang diangkat, maka ujung lainnya mengikuti.  Itu metafora yang dia peroleh dari sebuah buku kepemimpinan.

Akhirnya. “Untuk ibu. Besok akan saya bawa sajadah itu.” 

***
Rintik hujan menemani suasana siang yang agak gelap. Gelegar halilintar seakan memberi kemeriahan menyambut sore datang. Kilatnya sesekali membuat penghuni rumah membungkam kedua telinga dengan telapak tangan. Aiman duduk sambil minum kopi tubruk untuk menjaga matanya dari godaan kantuk diperjalanan. Hari ini ia hendak pulang ke Jakarta bersama seorang kerabatnya.

“Ibu nggak ingin sekalian berangkat ke Jakarta?” tanyanya.

Perempuan tua yang tengah duduk tak jauh darinya mengarahkan mata ke anaknya. “Nggak Aiman, sekarang ibu lebih senang di rumah saja.”

Sejenak sunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun