Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah Coklat Tua

21 Desember 2015   17:18 Diperbarui: 21 Desember 2015   17:18 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia masih ingat, sajadah coklat tua itu ada di atas tempat tidur ibunya. Ia lalai mengambilnya. Saat berkemas-kemas tadi, ia teralihkan oleh dering telepon genggam. Istrinya bertanya: jam berapa mau pulang ke Jakarta. Kemudian, dengan anak-anaknya bicara agak lama.

Mobil melaju berbalik arah dengan kecepatan yang sedikit dilebihkan agar cepat sampai. Kini, kendaraan berbelok ke kanan, pada tikungan terakhir menuju 200 meter ke rumah yang baru beberapa waktu ditinggalkannya. Dalam beberapa menit, mobil sudah menepi. Persis di sebelah utara pintu masuk halaman rumah.

Banyak orang sudah di sana. Di dalam rumah itu. Berbeda saat ia tadi berpamitan. Hanya ibu dan kakak perempuannya yang ada. Sebagaian dari mereka mengarahkan pandangan pada mobil Avanza silver yang baru berhenti.

Aiman memburu ke dalam dengan hati penuh tanya dan jantung berdegup kencang. Dilihatnya, kakak perempuannya tengah menangis. Beberapa yang lain pun begitu.

“Ada apa ini?”

"Ibumu ....," Seseorang menjawab.  Tapi tak menyelesaikan kalimatnya.

“Ibumu baru saja meninggal, Aiman.” Kata seseorang berkebaya hitam, berkain jarik sidomukti agak kusam. Ia mengusap-usap punggung Aiman.

Lelaki itu memburu ke kamar. Ditataplah ibunya kembali.  Perempuan tua yang sudah berbunga-bunga ditengoknya itu telah terbujur kaku. Ia dikelilingi sanak dan tetangga.

“Ibumu meninggal sewaktu sholat ashar. Baru saja. Ia tengkurep di sajadah itu,” jelas Bu Lik Tugini, adik ibu Aiman sambil mengarahkankan wajah bermata sembab ke arah keponakannya.

Aiman menatap sajadah coklat tua yang masih tergelar di lantai. Tergeletak pada celah selebar satu meter di antara tembok dan dipan, tempat tidur ibunya. Mata lelaki berusia kepala empat itu berkaca-kaca. Tangisnya dicoba dibendung. Ia masih menatap sajadah yang tak terusik dengan kematian ibunya. Sajadah yang hendak dibawanya ke Jakarta.

“Tuhan. Ternyata Engkau punya rencana indah terhadap ibu saya di atas sajadah itu." Ia membatin sembari mengusap air mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun