Keberuntungan. Ia mengingat kembali satu masa. Ada tiga: Jurusan Akuntansi, Gajah Mada, beasiswa: ia mengenang keberuntungan masa kuliahnya yang ia tempuh tak sampai lima tahun itu. Dan ia baru menyadari kemudian, kenapa ibunya selalu mengingatkan, bahkan lebih terasa mendesak untuk menentukan pilihan. “Ibu ingin kamu kuliah. Dari rumah ini harus ada yang kuliah.”
Wajah Aiman terasa kaku. Tarikan nafas menjadi pendek. Menjadi bupati? Atau…wakil bupati? Ah, apakah harapan ibu kelak akan menjadi kenyataan lagi. Ia gundah, bertanya dalam hati.
“Bukankah ibu sering menyimak berita. Tentang pejabat yang diadili karena korupsi?”
Kali ini, sang ibu yang menghela nafas. Agak panjang. Ia memegang gagang gelas, mengangkat dan menyeruput teh hangat. Uap panasnya sudah melemah. Tapi ia tetap meniup permukaan air minum itu.
“Aiman. Ingatkah kamu, dulu. Apakah sewaktu mau menikah, kamu memikirkan perceraian.”
Lelaki ini terdiam. Ia mencoba memaknai perkataan ibunya: risiko. Setiap keputusan punya konsekuensi sendiri. Semua tinggal memilih. Seperti satu ujung pensil yang diangkat, maka ujung lainnya mengikuti. Itu metafora yang dia peroleh dari sebuah buku kepemimpinan.
Akhirnya. “Untuk ibu. Besok akan saya bawa sajadah itu.”
***
Rintik hujan menemani suasana siang yang agak gelap. Gelegar halilintar seakan memberi kemeriahan menyambut sore datang. Kilatnya sesekali membuat penghuni rumah membungkam kedua telinga dengan telapak tangan. Aiman duduk sambil minum kopi tubruk untuk menjaga matanya dari godaan kantuk diperjalanan. Hari ini ia hendak pulang ke Jakarta bersama seorang kerabatnya.
“Ibu nggak ingin sekalian berangkat ke Jakarta?” tanyanya.
Perempuan tua yang tengah duduk tak jauh darinya mengarahkan mata ke anaknya. “Nggak Aiman, sekarang ibu lebih senang di rumah saja.”
Sejenak sunyi.