Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pohon Terakhir

31 Juli 2015   21:46 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:07 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Lela, lengkapnya Nurlela.  Anak itu belum juga bangun dari peraduannya.  Persiapan pada hari pertama masuk SMP membuatnya lelah.  Bayang-bayang perploncoan mengganggu pikirannya, hingga matanya sulit terpejam malam itu.  Sudah tiga kali Emak membangunkannya selepas ia menaruh mukenanya pada bibir tempat tidur selepas sholat shubuh.

Bergeming. Tak ada tanda ia merasakan kakinya digoyang-goyang oleh tangan kanan Emaknya. Kedua kupingnya belum juga mampu ditembus oleh suara perempuan yang sudah meyandang usia kepala empat.  Ia membatu.  Pulas.

Baju seragam sudah dipersiapkan sedari sore.  Buku dan peralatan tulis sudah ada dalam tas yang beberapa hari kemarin dibelinya dengan sang Emak di toko yang berjarak lima kilometer dari rumah bambunya.  Apalagi.  Sepatu baru, dengan kaos kaki putih yang panjangnya mendekati lutut tergeletak di kolong tempat tidurnya.  Tahun ajar baru, seperti menuntutnya semua harus baru.

Orang tua mana yang tidak merasakan bahagia.  Anak satu-satunya bisa diterima di sekolah negeri.  Bangga.  Jauh jarak yang mesti dia tempuh.  Tapi anak perempuan itu memantapkan diri untuk melanjutkan ke sekolah negeri.  Mengayuh sepeda yang sebagaian cat warna ungunya sudah terkelupas.   Pemberian dari orang tua temannya.

Kardiman, sang Bapak, sudah membenamkan diri dalam kepayahan memenuhi hasrat besar sang buah hati.  Tidak sedikit pun terucap kepadanya tentang kesulitan hidup.  Selalu saja mengiyakan permintaan Lela.  Prinsipnya sederhana, yang penting untuk urusan sekolah.

Toh, enam tahun sekolah dasar sudah bisa dilaluinya.  Ia yakin, selalu ada jalan untuk kebaikan masa depan penerusnya.  Kardiman sangat meyakini itu.  Dan, ia hanya mengeluh saat di atas sajadah.

Lelaki yang empat tahun lebih tua dari istrinya itu hanya bisa menghela nafas.  Surat pemberitahuan pendaftaran ulang harus ia penuhi.  Lima ratu tiga puluh ribu rupiah.

Harus mencari di mana, batinnya.  Narti, istrinya paham situasi ini.  Ia mencoba mendatangi saudara-saudaranya.  Barangkali ada  dana tertidur yang bisa pinjamnya.  Jika tidak mungkin di satu tempat, di beberapa tempat pun tak mengapa.  Yang penting terkumpul.  Sukur-sukur ada yang malah memberi.  Tapi itu harapan tersembunyi, yang kemungkinannya kecil.

"Semua bilang, urusannya sama, Pak"

"Sama bagaimana, Mak"

"Ya, sama seperti kita.  Sama-sama ngurusi anak sekolah"

***

Dekat akhir pendaftaran ulang, Kardiman berbisik pada istrinya.  Diajaknya Narti masuk kamar.  Diperlihatkan kepada perempuan itu yang dikeluarkan dari saku kanan celana pendeknya.  Sebuah amplop putih.

"Ini Mak, coba dihitung"

"Apa itu Pak?"

"Apa.  Ya duit!"

Agak tidak percaya Narti dibuatnya.  Dikosongkan amplop itu. Dihitungnya lembaran demi lembaran.  Lima buah ratuan ribu dan tiga puluhan ribu. Pas.  Genap.  Begitu Narti berguman, sambil menatap suaminya dengan sedikit menebar senyum.

"Alhamdulillah, Pak.  Jadi daftar ulang"

"Simpan di lemari sana.  Di bawah bajumu.  Kasih doa sekalian, Mak.  Biar nggak ada yang berani mencuri!"

Kardiman keluar kamar.  Diambilnya gelas besar berisi air teh yang baru setengahnya ia minum sebelum pergi pagi tadi.  Kaos lengan panjangnya dilukar.  Disampirkan pada sandaran  kursi kayu tua yang tindik-tindiknya sudah longgar.  Sesekali kursi itu berderit mengikuti gerakan tubuh Kardiman.  Iramanya seakan berpadu dengan kelegaan Kardiman.  Anaknya bisa melanjutkan sekolah.

"Pak, dapat dari mana?"

"Dari Pak Kartijo," jawab Kardiman saat istrinya bertanya sambil keluar kamar mendekatinya.

"Kok ke dia lagi?"

"Ya, terus bagaimana.  Kita sudah berusaha pinjam sana, pinjam sini.  Nyatanya nggak dapat juga.  Ini yang bisa kita lakukan.  saya nggak mau si Lela berhenti sekolah.  Cuma SD.  kayak kita"

Narti agaknya kurang sreg dengan ini.  Hutang mereka ke Pak Kartijo dua juta belum lunas juga.  Itu untuk beli motor.

Dua juta!  Dua juta itu dapat motor apa?  Begitu pertanyaan Pak Kartijo seperti meledek Kardiman saat ia nekad meminjam uang kepadanya.

Tapi bagi Kariman yang penting motor.  Bisa jalan.  Bisa dinaiki jarak jauh.  Bisa bikin kerja ringan.  Cepat berangkat, cepat pula pulang ke rumah.  Baginya, motor bodong tak jadi soal.  Di pelosok mana ada polisi yang mau kasih tilang.  Begitu jawabannya.  Lugu.

Sebagai penderes ia peka kebutuhan.  Roda dua adalah impiannnya.  Untuk bergerak dari desa ke desa mengambil nira kelapa.  Ia tak punya kebun.  Beberapa pohon milik orang lain yang ia garap.  Setiap bulan ia membagi hasil dengan memberi gula kepada pemilik pohon.  Jaraknya tiga hingga lima kilo dari tempat tinggalnya.  Sungguh tidak memungkinkan lagi jika tidak pakai roda dua.

"Yang kemarin saja belum lunas, Pak.  Nggak enak rasanya banyak utang"

"Ya, begini ini jadi orang tua.  Banyak pengorbanan.  Masih untung, Mak. Masih ada yang mau kasih pinjaman!"

Kardiman mengerti perasaan istrinya.  Pak Kartijo bisa seenaknya kepadanya atas jasa hutangnya.  Sebagai tengkulak gula merah ia memudahkan urusan uang kepada orang-orang seperti Kardiman.  Tapi ia juga mengendalikan harga gula.  Kadang kelelahan sebagai penderes tak sebanding dengan pendapatan.  Belum juga para penderes mendapatkan uang lebih untuk mereka simpan.

***

Kini Kardiman tengah berada di desa seberang.  Empat kilo arah selatan dari desanya.  Ia tinggalkan istri dan anaknya saat matahari masih menyembulkan sedikit pancaran sinarnya.  Ia tidak bisa melihat  sang anak memulai hari pertamanya ke sekolah.  Hanya berpamitan kepada istrinya.

Ia pentingkan menjalankan kegiatan rutinnya.  Menderes.  Memanjat dan menuruni pohon kelapa.  Mengambil nira yang sudah ada pada bumbung yang berada di bawah manggar.  Pohon demi pohon.  Hingga dua dirigen besar yang ada di kedua sisi jok motornya penuh.

Kini ia di pohon terakhir.  Di pekarangan yang jauh dari pemukiman penduduk.  Matahari hampir dua puluh lima derajar tepat di atas kepalanya.  Kakinya sudah menapak pada bagian pangkal batang daun.  Tangannya baru saja menyentuh manggar.  Namun ia terhenti meraih bumbung yang hampir dijangkaunya.  Ada suara yang masuk ke telinganya.  Hingga Kardiman menoleh ke kanan dan kiri.  Bahkan ke bawah pohon sekalipun. 

Tak ada siapapun, batinnya.  Tangannya ia garuk-karukkan ke rambut sekitar ubun-ubunnya.  Heran.

"Ambil satu kelapa muda yang ada di kananmu.  Cepat!  Sekarang!"

Suara itu terdengar keras.  Ia jadi timbul rasa takut.  Suara darimana di siang bolong.

Ia turuti saja perintah itu tanpa pikir panjang.  Ia pegang ujung bawah kelapa.  Dipuntir sedikit demi sedikit. Memutar dan kemudian terlepas dari penggantungnya.

"Bawa pulang.  Kasih minum ke anakmu.  Kelak ia akan jadi dokter!" Suara itu kembali Kardiman dengar.

Ia tidak jatuhkan kelapa muda itu.  Ia turunkan dengan mendekapkan tangan kanan pada sisi tubuhnya.    Ditaruhnya kemudian dekat dengan dirigen di badan motor.  Erat-erat ia mengikatnya.

Secepatnya motor dihidupkan.  Ia arahkan pulang ke rumahnya.  Tak bisa kecepatan motor memenuhi keinginannya.  Beban nira dalam dirigen memperberat laju kendaraan.

***

Setengah lima sore udara terasa panas.  Musim kemarau ini belum juga ada tanda berakhir.  Kardiman tak kuasa berlama-lama tidur istirahat selepas sholat ashar tadi.  Dengan telanjang dada dan bercelana kolor, ia bangkit dan keluar kamar.

Ia menuju belakang.  Ke dapur.  Tempat rak kayu penyimpan perkakas makan berdiri.   Di bawahnya ia taruh kelapa muda yang satu sisinya sudah dipapakkan.  Kelapa yang ia bawa pulang tadi siang.

Ia jongkokkan tubuhnya.  Mengintai kolong rak kayu itu.  Diarahkan pandangannya pada seluruh bagiannya.  Hingga akhirnya ia berdiri.  Kelapanya tidak ada, pikirnya.

"Mak, lihat kelapa muda yang ada di sini?" tanyanya  kepada Narti yang kebetulan masuk dari pintu belakang.

Istrinya menggelengkan kepala.  Tidak tahu.  Bahkan tidak juga melihat ada kelapa muda di situ, lanjutnya.

"Ada orang lain yang masuk rumah kita, Mak?"

"Nggak ada.  Cuma Lela" Narti berujar kepada lelaki itu.

Agaknya Kardiman mulai kuatir.  Keringat di badannya mulai terlihat.  Suara yang tadi siang ia dapati di pohon kelapa mengoyak pikirannya.

"Mana Lelanya sekarang?"

Mendengar namanya disebut, Lela pun menuju ke arah orang tuanya.  Ia masih dengan seragam barunya yang belum juga ia lepas sepulang sekolah.

"Lel, kamu lihat kelapa muda yang ada di bawah rak piring.  Tadi bapak taruh di situ?"

"Lihat, Pak!"

"Terus, sekarang di mana?" Kardiman cepat bertanya lagi ke arah putrinya.

Baru kali ini Lela melihat, Bapaknya seperti kebakaran jenggot hanya untuk urusan kelapa muda.  Padahal, sebagai penderes, kelapa muda menjadi barang biasa.

"Sudah saya minum, Pak.  Tadi sepulang sekolah.  Haus banget"

Jawaban Nurlela membuat pingsan Bapaknya.  Istrinya menjerit melihat suaminya jatuh tak sadarkan diri.  Lela bergegas keluar rumah dan berteriak minta tolong tetangga.

Siang yang beranjak petang menjadi riuh.  Lima orang sudah langsung berlari menuju rumah Kardiman.  Diangkatnya lelaki berkulit hitam dan rambut ikal itu ke ruang tengah.  Direbahkan di atas dipan kayu kecil yang beralaskan tikar daun pandan.

Beberapa perempuan mengipasi Kadiman.  Yang lain mengolesi hidungnya dengan minyak kayu putih. Kardiman pun akhirnya siuman.

"Mana Lela.  Nurlela anak saya?" kata Kardiman seketika sadarkan diri

Sekerumunan tetangga yang dekat Kardiman saling menoleh ke arah Lela.  Ia pun mendekat ke samping Bapaknya dengan isakan tangis yang tak terbendung.

"Kelak kamu akan jadi dokter, Lela"

Nurlela hanya terdiam.  Kardiman mendekap anak perempuannya erat-erat.  Dipandanginya wajah sang anak dengan keteduhan seorang Bapak.  Dituliskan dibenaknya harapan-harapan untuk masa depan  anak perempuan dan satu-satunya itu.  Dipupuskannya kegalauan-kegalauan yang kerap hadir pada lamunan istrinya.

Sekeliling Kardiman saling berpandangan.  Tidak satu pun yang mengerti yang sebenarnya terjadi pada diri Kardiman.  Sebagaimana Lela dan juga Narti istrinya.

Yang dipersangkakan kepadanya cuma satu.  Kardiman ketempelan setan.

 

____Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 31 Juli 2015

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun