"Ya, sama seperti kita. Sama-sama ngurusi anak sekolah"
***
Dekat akhir pendaftaran ulang, Kardiman berbisik pada istrinya. Diajaknya Narti masuk kamar. Diperlihatkan kepada perempuan itu yang dikeluarkan dari saku kanan celana pendeknya. Sebuah amplop putih.
"Ini Mak, coba dihitung"
"Apa itu Pak?"
"Apa. Ya duit!"
Agak tidak percaya Narti dibuatnya. Dikosongkan amplop itu. Dihitungnya lembaran demi lembaran. Lima buah ratuan ribu dan tiga puluhan ribu. Pas. Genap. Begitu Narti berguman, sambil menatap suaminya dengan sedikit menebar senyum.
"Alhamdulillah, Pak. Jadi daftar ulang"
"Simpan di lemari sana. Di bawah bajumu. Kasih doa sekalian, Mak. Biar nggak ada yang berani mencuri!"
Kardiman keluar kamar. Diambilnya gelas besar berisi air teh yang baru setengahnya ia minum sebelum pergi pagi tadi. Kaos lengan panjangnya dilukar. Disampirkan pada sandaran kursi kayu tua yang tindik-tindiknya sudah longgar. Sesekali kursi itu berderit mengikuti gerakan tubuh Kardiman. Iramanya seakan berpadu dengan kelegaan Kardiman. Anaknya bisa melanjutkan sekolah.
"Pak, dapat dari mana?"