"Dari Pak Kartijo," jawab Kardiman saat istrinya bertanya sambil keluar kamar mendekatinya.
"Kok ke dia lagi?"
"Ya, terus bagaimana. Kita sudah berusaha pinjam sana, pinjam sini. Nyatanya nggak dapat juga. Ini yang bisa kita lakukan. saya nggak mau si Lela berhenti sekolah. Cuma SD. kayak kita"
Narti agaknya kurang sreg dengan ini. Hutang mereka ke Pak Kartijo dua juta belum lunas juga. Itu untuk beli motor.
Dua juta! Dua juta itu dapat motor apa? Begitu pertanyaan Pak Kartijo seperti meledek Kardiman saat ia nekad meminjam uang kepadanya.
Tapi bagi Kariman yang penting motor. Bisa jalan. Bisa dinaiki jarak jauh. Bisa bikin kerja ringan. Cepat berangkat, cepat pula pulang ke rumah. Baginya, motor bodong tak jadi soal. Di pelosok mana ada polisi yang mau kasih tilang. Begitu jawabannya. Lugu.
Sebagai penderes ia peka kebutuhan. Roda dua adalah impiannnya. Untuk bergerak dari desa ke desa mengambil nira kelapa. Ia tak punya kebun. Beberapa pohon milik orang lain yang ia garap. Setiap bulan ia membagi hasil dengan memberi gula kepada pemilik pohon. Jaraknya tiga hingga lima kilo dari tempat tinggalnya. Sungguh tidak memungkinkan lagi jika tidak pakai roda dua.
"Yang kemarin saja belum lunas, Pak. Nggak enak rasanya banyak utang"
"Ya, begini ini jadi orang tua. Banyak pengorbanan. Masih untung, Mak. Masih ada yang mau kasih pinjaman!"
Kardiman mengerti perasaan istrinya. Pak Kartijo bisa seenaknya kepadanya atas jasa hutangnya. Sebagai tengkulak gula merah ia memudahkan urusan uang kepada orang-orang seperti Kardiman. Tapi ia juga mengendalikan harga gula. Kadang kelelahan sebagai penderes tak sebanding dengan pendapatan. Belum juga para penderes mendapatkan uang lebih untuk mereka simpan.
***