Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Kuliner] Mentraktir Arwah

9 Juni 2016   19:43 Diperbarui: 9 Juni 2016   19:50 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soto Kudus (www.resepumi.com)

Aku memakan sepiring nasi dan semangkuk soto kudus di depanku dengan lahap. Ya, warung soto kudus ini adalah langgananku. Aku suka kuahnya yang bersari itu – kaldunya mantap. Daging ayam yang disuwir-suwir itu begitu empuk dan gurih. Soto ini rasanya pun ‘lebih netral’ dibandingkan dengan aslinya yang ada di Kudus. Menurutku, soto yang dijajakan di daerah asalnya itu terlalu manis. Aku pun lebih suka makan nasi yang dipisah ketimbang dicampur dengan sotonya.

Setelah seharian melakukan otopsi pada mayat korban pembunuhan, aku merasa betul-betul lapar. Aku begitu serius dengan apa yang kulakukan sehingga tidak menyadari kalau sudah lewat jam makan malam. Ya, hanya aku yang belum makan malam, sementara rekan-rekanku yang lain sudah, beberapa di antaranya malah ada yang membawa bekal dari rumah – termasuk dokter Panji, dosen kami.

Kondisi mayat itu sebenarnya sangat mengerikan. Kulit mukanya dikelupas, begitu juga dengan kulit di jari-jari tangannya di bagian seharusnya sidik jari itu bertempat. Sepertinya puluhan tahun yang lalu pernah ada korban pembunuhan seperti ini dan saat itu memang menyulitkan untuk mengetahui identitas si korban. Tetapi sekarang kan kita sudah bisa melakukan tes DNA, jadi kehilangan profil wajah ataupun sidik jari bukanlah kendala. Hanya saja memang kita perlu mendapatkan sampel DNA dari keluarga korban – dan ini yang menjadi masalah selama korban belum bisa diketahui identitasnya berdasarkan ciri-ciri fisik yang ada. Mayat itu juga memiliki tato bergambar hati berwarna merah muda di punggung lengan kanannya. Tetapi keberadaan sebuah tato bukanlah jaminan sebuah identitas. Bisa saja waktu si korban meninggalkan keluarga dan tempat asalnya, dia belum memiliki tato. Bukankah membuta tato itu masalah yang gampang?

Dari hasil penelitian sementara atas kondisi mayat itu, lehernya seperti terluka ada bekas jeratan atau ikatan. Di dalam mulutnya, maksudku di sela-sela giginya banyak ditemukan remah-remah bawang putih goreng. Kesimpulannya: dia belum sempat gosok gigi ketika dibunuh. Hahaha. Itu hanyalah canda kami semua saat menemukan remah-remah bawang putih goreng itu dalam mulutnya.

Ah, aku sudah merasa kenyang. Kuhirup teh manis hangat perlahan-lahan. Betul-betul nikmat. Namun di balik kenikmatan makan malamku, aku merasakan sesuatu …

Sepertinya suasana malam hari ini agak berbeda dari biasanya. Hujan gerimis dan keadaan yang begitu tenang membuatku merasa sedikit gelisah. Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku. Jam sepuluh malam – ah masih ‘pagi’.

Tiba-tiba tampak seorang pria mendatangi warung itu dan ia lalu duduk di sampingku, padahal tempat duduk yang kosong masih banyak. Aneh banget! Ia segera memesan semangkuk soto dengan nasi yang dicampur. Ia juga meminta bawang goreng yang banyak. Bawang goreng yang dimaksud tentunya bawang putih goreng – sesuatu yang khas soto kudus.

Sebenarnya aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan orang lain atau kepo, tetapi aku memiliki rasa ingin tahu yang kuat pada segala hal yang menarik minatku. Kuperhatikan orang yang duduk di sampingku ini – tentu saja aku tidak memerhatikannya secara terang-terangan. Aku pura-pura melihat sekilas ke kiri dan ke kanan, pura-pura melihat jam yang melingkari tangan kiriku, ataupun sekadar mengambil tusuk gigi. Pengamatan sambil lalu dengan cara itu pun sudah cukup bagiku.

Orang ini … kok bau formalin?

Aku mahasiswi kriminologi yang saat ini ikut melakukan otopsi pada seorang (atau sesosok) korban pembunuhan. Sudah beberapa hari ini aku berada di sini dan sepertinya aku tahu mana yang pegawai administrasi, dokter dan perawat, polisi, ataupun pasien dan warga masyarakat lainnya. Tetapi apa yang kurasakan dari orang yang duduk di sampingku ini agak berbeda.

“Mari makan, Mbak,” kata orang di sampingku.

“Ah, ya, silakan,” jawabku sambil menganggukkan kepala dan tersenyum.

Suaranya terdengar tidak wajar, seperti tercekat – agak parau. Mungkin ada sesuatu di lehernya atau ia sedang sakit tenggorokan

Ia makan dengan perlahan. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang familiar pada diri orang ini. Firasatku mengatakan demikian – dan firasatku jarang salah. Perasaanku tergelitik untuk terus memerhatikan orang itu. Dia memakai jaket dengan bahan sintetis berwarna gelap dan bagian tangan digulung hingga siku. Di lengan kanannya tampak tato bergambar hati berwarna merah muda … ‘Deg!’ Tiba-tiba jantungku seperti berhenti dan bulu kudukku rasanya berdiri. Tato itu kan … Aku sebenarnya merasa takut, tetapi kupaksakan juga memerhatikan dengan lebih teliti tangan orang itu. Tato bukan satu-satunya ciri, ada yang lain … ‘Deg!’ Kembali aku merasakan dadaku seperti tertekan. Kuku jari tengah dan jari manis tangan kanan orang itu berwarna hitam sebagian.

“Orang ini sepertinya disiksa sebelum dibunuh,” demikian yang dikatakan dokter Panji waktu itu. “Jari tangannya – jari tengah dan jari manis sepertinya ditindih dengan kaki kursi, makanya kukunya berwarna hitam. Tidak terlalu kuat tapi cukup menimbulkan pendarahan di dalam.”

Dan ‘orang’ ini juga sepertinya sangat menyukai bawang putih goreng.

Aku terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Apa benar … orang di sampingku ini adalah mayat … tepatnya arwah dari mayat yang sedang kami otopsi?Aku tidak pernah percaya takhayul segala macam. Aku adalah wanita pemberani – demikian perkataan yang sering kudengar dari rekan-rekanku. Tetapi entah kenapa sekarang …

Aku teringat akan apa yang pernah dikatakan dokter Panji – walaupun aku tidak memercayainya. “Ada kalanya si almarhum berusaha memberitahukan orang lain – siapa yang membunuh dia, melalui cara-cara tertentu yang tidak lazim. Dia tidak ingin mati penasaran. Tetapi, ya, tidak selalu sih. Boleh dibilang peristiwa mistis semacam itu jarang terjadi,” demikian kata dokter Panji.

Ah! Nyaris aku berteriak. Sesuatu yang dingin menyentuh tanganku. Ternyata ‘orang’ aneh di sampingku yang melakukannya.

“Maaf, bisa tolong tusuk giginya,” katanya dengan suara serak.

Aku tidak menjawab, tidak mengangguk, tetapi kusodorkan tusuk gigi itu padanya.

Ia menatapku – pandangannya seperti tatapan kosong, entah ia sebenarnya melihatku atau tidak, aku sudah tidak sanggup berpikir.

“Mbak … pakai hape yang ada kameranya, kan?” tanyanya.

Aku mengangguk perlahan. Zaman sekarang mana ada ponsel yang tidak berkamera?

Dia lalu sibuk dengan tusuk giginya.

Apa maksud pertanyaannya itu? Aku tertegun. … Jangan-jangan … dia minta kufoto? Masa sih?

Tetapi … bukankah ini kesempatan bagus? Aku melihat wajahnya … memang sebaiknya dia kufoto. Itu yang paling baik! Tetapi aku tidak sanggup melakukannya. ‘Orang’ ini …

Kuperhatikan Pak Mansur, si penjual soto. Dia tampak tidak terganggu dengan kehadiran ‘orang’ ini. Apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin kan aku main foto saja, padahal ‘orang’ ini adalah orang asing alias tidak kukenal – ya maksudku dalam kondisi seperti ini, bukan dalam kondisi mati dan dibedah di ruang otopsi.

“Mbak … bingung?” tanyanya lagi.

Aku terdiam. Menoleh ke arahnya pun tidak. Aku gemetar … gugup … cemas …

“Bolehkah kupinjam hapenya? Aku ingin difoto …” katanya lagi.

Hah? Aku tercengang – tetapi tetap tidak menoleh. Dia ingin difoto? Aneh betul! … tetapi bukankah ini kesempatan bagus?

Aneh atau tidak biarlah, tidak usah kupikirkan. Seperti terhipnotis, kusodorkan ponselku ke arahnya.

“Boleh?” tanyanya dingin.

Aku mengangguk. Dia mengambil ponsel yang kusodorkan.

Dia lalu menghadap ke kiri, membelakangiku dan mengarahkan ponsel itu ke dirinya. Dua kali dia mengambil gambar kami berdua. Ya, aku tahu – dalam posisi seperti itu, aku pun akan terlihat dalam foto yang diambilnya.

“Terima kasih,” katanya dengan parau. “Kini aku bisa tenang …”

Apa maksudnya ‘kini aku bisa tenang?’ Ah, sudahlah tak perlu kupikirkan.

Dia lalu berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu. Jalannya terseok-seok seperti diseret.

“Mas … sotonya belum bayar,” tiba-tiba kudengar suara Pak Mansur memanggil orang itu.

Orang itu menoleh pun tidak, ia terus berjalan menuju … gedung rumah sakit tempat kami melakukan otopsi.

“Pak, Pak Mansur,” panggilku. “Biar saya saja yang bayar, Pak.”

Pak Mansur menoleh ke arahku. Dia terlihat bingung. Aku tahu. Orang itu bukan temanku, bukan kenalanku, dan bukan siapa-siapaku. Dan Pak Mansur sepertinya tahu hal itu.

Setelah orang itu tidak terlihat lagi, aku segera membayar makanan dan minuman kami berdua – aku dan si ‘orang’ itu.

Aku segera bergegas kembali ke ruang otopsi. Aku tidak sabar untuk segera sampai dan menceritakan peristiwa yang baru saja kualami. Peristiwa yang membuatku merinding – tetapi sesuatu banget. Bukan saja aku mendapatkan foto wajah si korban pembunuhan tetapi juga sidik jarinya. Ya, bukankah sidik jarinya juga menempel di ponselku?

Sesampainya di lorong menuju ruang otopsi, aku mendengar suara orang tertawa-tawa. Ramai sekali padahal sudah malam. Apa ada yang berulang tahun hari ini?

Ketika kubuka pintu ruangan itu, kulihat kawan-kawanku semuanya tertawa. Bejo orang yang paling jahil di antara kami tampak sedang berjongkok dan memegang perutnya seperti tidak mampu menahan tawa. Ketika ia melihatku, Bejo menunjuk ke arahku dan kembali tertawa terbahak-bahak.

“Ada apa ini? Kok ramai sekali? Sudah malam begini …” tanyaku.

“Sis, kamu habis ngapain tadi? Habis selfie-selfie, ya?” tanya Airin adik kelasku.

Aku bingung mendengar pertanyaannya.

“Dia bingung, tuh,” kata Kusno – teman satu angkatan denganku.

“Habis selfie sama aku,” kudengar seseorang berkata. Dan pecahlah tawa di ruang itu – lagi.

Aku menoleh ke arah orang itu. Dia! Dia si … ah, dia orang yang duduk di sebelahku tadi di warung Pak Mansur! Aku baru sadar selain kami berlima – aku, Airin, Bejo, Kusno, dan dokter Panji, ada juga orang lain.

“Ini Firman, tamu kita malam ini,” Kusno memperkenalkan.

Kami berdua lalu bersalaman.

“Siska,” kataku datar. Firman pun menyebutkan namanya dan tersenyum.

Mereka kembali tertawa. Hanya dokter Panji yang tidak tertawa sama sekali. Dosenku itu masih sibuk memeriksa mayat si korban.

“Boys! Show some respect, will you?” pintanya. Respek maksudnya buat jenazah yang terbaring kaku itu dan bukan untukku. Dokter Panji memang selalu berusaha untuk tidak bersikap sembarangan ataupun tidak santun ketika melakukan otopsi.

Firman. Entah kenapa aku lupa kalau hari ini kami akan kedatangan tamu khusus dari polda setempat. Padahal aku sudah membaca CV-nya. Firman adalah seorang intel dan ia menggemari seni pentas, utamanya drama dan teater. Ia juga seorang make up artist yang bertalenta. Alih-alih aku mengerjai dia yang orang baru tiba di sini malam ini, malah dia yang mengerjaiku. Ya, aku – dan Kusno, yang paling senior di sini setelah dokter Panji.

“Maaf, Mbak, atas kejadian barusan,” kata Firman. “Dan terima kasih atas traktirannya.”

Dia tersenyum dan aku mendongkol.

Sementara itu yang lain masih tertawa-tawa namun dengan volume suara yang lebih kecil.

Aku cuma mengangguk-angguk saja. Bodohnya aku. Padahal kalau saja aku bisa berpikir lebih jernih saat itu, pasti dengan mudah aku bisa mematahkan tipuan murahan dan tidak lucu seperti itu. Aku tersenyum kecut mengingat kejadian bodoh di warung Pak Mansur.

Selfie-selfie sama ‘orang’ aneh? ‘Orang’ aneh yang kukira arwah penasaran. Hadeeeuuh. Siska, kamu bodoh sekali, ya. Aku mencemooh diriku sendiri. Korban pembunuhan ini kan wajahnya bulat dan dahinya lebar. Kulitnya juga kuning. Sedangkan Firman? Wajahnya kotak dan kulitnya sawo matang. Jelas bedalah.

Aku cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Selfie-selfie barusan cuma bikin foto sampah dan menghabiskan memory ponselku saja. Lebih baik kuhapus saja foto bodoh itu sebelum dilihat oleh yang lain dan di-share ke media sosial untuk dijadikan ‘foto minggu ini’.

Kubuka folder gambar di ponselku dan melihat foto yang diambil oleh Firman barusan. Foto konyol. Betul-betul konyol. Sambil tersenyum kuperhatikan foto konyol itu, ya itu aku. Sudah merupakan kebiasaan setiap orang untuk melihat foto dirinya sendiri dulu sebelum melihat foto orang yang lain. Aku terlihat sedang bingung di belakang Firman yang … Siapa ini? Tampak seseorang yang tidak kukenal, bukan Firman, melotot ke arahku. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit membuka. Orang ini … orang di dalam foto ini berwajah bulat dan dahinya lebar.

Spontan aku menengok ke jasad yang sedang terbaring di atas meja operasi di tengah-tengah ruangan itu.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun