“Boleh?” tanyanya dingin.
Aku mengangguk. Dia mengambil ponsel yang kusodorkan.
Dia lalu menghadap ke kiri, membelakangiku dan mengarahkan ponsel itu ke dirinya. Dua kali dia mengambil gambar kami berdua. Ya, aku tahu – dalam posisi seperti itu, aku pun akan terlihat dalam foto yang diambilnya.
“Terima kasih,” katanya dengan parau. “Kini aku bisa tenang …”
Apa maksudnya ‘kini aku bisa tenang?’ Ah, sudahlah tak perlu kupikirkan.
Dia lalu berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu. Jalannya terseok-seok seperti diseret.
“Mas … sotonya belum bayar,” tiba-tiba kudengar suara Pak Mansur memanggil orang itu.
Orang itu menoleh pun tidak, ia terus berjalan menuju … gedung rumah sakit tempat kami melakukan otopsi.
“Pak, Pak Mansur,” panggilku. “Biar saya saja yang bayar, Pak.”
Pak Mansur menoleh ke arahku. Dia terlihat bingung. Aku tahu. Orang itu bukan temanku, bukan kenalanku, dan bukan siapa-siapaku. Dan Pak Mansur sepertinya tahu hal itu.
Setelah orang itu tidak terlihat lagi, aku segera membayar makanan dan minuman kami berdua – aku dan si ‘orang’ itu.