Aku segera bergegas kembali ke ruang otopsi. Aku tidak sabar untuk segera sampai dan menceritakan peristiwa yang baru saja kualami. Peristiwa yang membuatku merinding – tetapi sesuatu banget. Bukan saja aku mendapatkan foto wajah si korban pembunuhan tetapi juga sidik jarinya. Ya, bukankah sidik jarinya juga menempel di ponselku?
Sesampainya di lorong menuju ruang otopsi, aku mendengar suara orang tertawa-tawa. Ramai sekali padahal sudah malam. Apa ada yang berulang tahun hari ini?
Ketika kubuka pintu ruangan itu, kulihat kawan-kawanku semuanya tertawa. Bejo orang yang paling jahil di antara kami tampak sedang berjongkok dan memegang perutnya seperti tidak mampu menahan tawa. Ketika ia melihatku, Bejo menunjuk ke arahku dan kembali tertawa terbahak-bahak.
“Ada apa ini? Kok ramai sekali? Sudah malam begini …” tanyaku.
“Sis, kamu habis ngapain tadi? Habis selfie-selfie, ya?” tanya Airin adik kelasku.
Aku bingung mendengar pertanyaannya.
“Dia bingung, tuh,” kata Kusno – teman satu angkatan denganku.
“Habis selfie sama aku,” kudengar seseorang berkata. Dan pecahlah tawa di ruang itu – lagi.
Aku menoleh ke arah orang itu. Dia! Dia si … ah, dia orang yang duduk di sebelahku tadi di warung Pak Mansur! Aku baru sadar selain kami berlima – aku, Airin, Bejo, Kusno, dan dokter Panji, ada juga orang lain.
“Ini Firman, tamu kita malam ini,” Kusno memperkenalkan.
Kami berdua lalu bersalaman.