Walaupun Bennosuke tidak ikut berlatih pedang di bawah bimbingan Munisai, ia kerap memerhatikan murid-murid ayahnya berlatih di dojo – apakah sewaktu mereka berlatih fisik, berlatih teknik mengayunkan pedang, ataupun berlatih tanding – berduel dengan menggunakan bokken. Ia juga memerhatikan mereka membersihkan dojo, mengepel lantai, hingga merawat perlengkapan untuk berlatih yang ada di dalam dojo itu.
Bennosuke sendiri masih belum bisa memahami apakah mengepel lantai dojo – dengan posisi badan menungging, terus bergerak maju ke depan dengan cepat seperti berlari, sementara tangan tetap memegang kain pel dan mendorongnya, merupakan satu bentuk latihan fisik. Ada yang mengatakan latihan semacam itu bertujuan untuk menguatkan pinggang, melatih otot kedua tangan, menjaga keseimbangan, serta berkonsentrasi pada apa yang saat itu sedang dilakukan.
Saat ini, Bennosuke baru saja selesai bermain di hutan – seperti biasa, bokken-nya diselipkan di obi, di bagian pinggang sebelah kiri dengan mata pedang menghadap ke atas. Ketika berjalan memasuki pekarangan rumahnya, ia melewati dojo dan hatinya tergerak untuk melihat latihan murid-murid ayahnya. Ia melongok sekilas lewat pintu dojo yang terbuka lebar.
Eh? Benar dugaanku, mereka sedang latihan mengepel lantai dojo.
Ia nyaris tertawa melihat beberapa orang murid tampak kehilangan keseimbangan ketika mendorong kain pel tersebut dengan cepat dan terpeleset hingga jatuh. Ada yang jatuh tergelincir ke samping, ada yang terdorong jatuh ke depan.
Kalian seharusnya tidak menggunakan kain pel yang terlalu basah. Kalian terpeleset karena lantainya licin – masih terlalu basah. Lain kali gunakan kain pel yang sedikit basah. Seberapa baik pun keseimbangan kalian, jika lantai masih basah dan kalian berlari dengan cepat di atasnya, kemungkinan besar kalian pasti tergelincir dan jatuh.
Bennosuke menggeleng-gelengkan kepalanya melihat para murid yang terpeleset itu – lagaknya saat itu seperti orang dewasa, bahkan melebihi ayahnya. Munisai yang berdiri di depan barisan para murid tampak serius memerhatikan mereka berlatih mengepel sambil berlari dan tidak menggubris Bennosuke yang hanya menyempilkan tubuhnya di pintu dojo.
Bennosuke pernah mencoba melakukan latihan semacam itu. Awalnya memang sulit tetapi jika sudah terbiasa, segalanya akan menjadi lebih mudah – begitu pendapatnya.
Tarik ke atas sedikit hakamakalian, ketatkan di bagian pinggang dan selipkan dalam obi, pastikan kaki bisa lebih leluasa bergerak hingga tidak keserimpet.
Hakama merupakan sejenis celana panjang dengan bagian bawah yang melebar.
Jaga jarak antara kedua kaki, jangan terlalu rapat, sehingga bisa bergerak lebih cepat.
Mungkin orang yang mengatakan latihan seperti ini untuk meningkatkan kemampuan fisik cuma akal-akalan saja supaya para murid rajin mengepel dan membersihkan lantai dojo.
Setelah memerhatikan beberapa saat, ia segera meninggalkan tempat itu. Tanpa disadarinya, pandangan mata Munisai mengikuti langkahnya meninggalkan dojo. Mata yang biasanya garang itu tampak sedikit meredup, seperti sedang merenung. Tidak lama lagi … Dan aku tidak akan pernah melihatnya lagi.
Bennosuke sering membayangkan dirinya berlatih tanding dengan murid-murid ayahnya – bagaimana ia merespons serangan mereka dengan menghindar, menangkis, ataupun bahkan mendahului menyerang.
Ia bahkan dengan penuh percaya diri pernah mengatakan kepada Dorin bahwa ia mampu mengalahkan beberapa orang di antara mereka. Ada beberapa hal yang menjadi catatan Bennosuke: kecepatan gerakan kaki saat maju melangkah, ayunan pedang yang kurang terarah, serta kemampuan menghindar yang lamban. Semua kelemahan yang ada pada murid-murid ayahnya ‘yang itu’ tidak lepas dari pengamatan Bennosuke. Yang dimaksud dengan ‘yang itu’ adalah Sannosuke, Madaemon, Yanabe, dan Matachiro.
Ketika memerhatikan latih tanding murid-murid ayahnya, dan membandingkannya dengan apa yang kerap ia amati – pertarungan Munisai dengan para penantangnya, Bennosuke seperti melihat dua peristiwa yang sangat berbeda. Sepintas saja sudah terlihat perbedaan yang amat nyata, bahkan kesan yang ditimbulkan dan atmosfer di arena pertarungan pun terasa sangat berbeda. Para penantang Munisai adalah pendekar yang mumpuni – berpengalaman dan memiliki kemampuan yang jauh di atas murid-murid Munisai.
Membandingkan pertarungan yang berbeda kelas itu, Bennosuke seperti sedang menonton pertarungan antara sesama orang dewasa di satu sisi dan pertarungan antara anak-anak di sisi lainnya. Mungkin seperti itulah perbandingan kemampuan para pendekar yang berpengalaman dibandingkan dengan murid-murid yang masih dalam taraf belajar ilmu pedang.
Satu hal yang tidak lepas dari perhatian Bennosuke adalah mata para petarung itu. Mata mereka saling memandang satu sama lain. Mereka bukan sedang mengukur kekuatan lawan, tetapi berusaha mencari tahu apa yang akan dilakukan lawan. Dengan memerhatikan mata lawan, maka semua gerakan tubuhnya – tangan, kaki, bahu, pinggang, dan sebagainya, akan terlihat dan bisa dirasakan. Memerhatikan mata lawan seperti membaca pikiran mereka.
Tiba-tiba Bennosuke menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang – tepat ketika tangan Dorin akan menepuk bahu kanannya.
“Eh, Paman?” tanyanya keheranan.
Bennosuke melihat Dorin sepertinya sedang tersenyum.
Anak ini instingnya semakin kuat.
Walaupun Munisai tidak mengatakan pendapatnya tentang keinginan Bennosuke menantang murid-muridnya, Dorin mengetahui bahwa Munisai merasa anak ini belum memiliki kemampuan yang memadai.
Ia teringat sore itu, waktu yang sudah mereka sepakati. Bennosuke mengajaknya menyaksikan latihan murid-murid Munisai. Mereka duduk bersila di salah satu ruangan yang ada di dojo itu. Dari sana mereka bisa melihat dengan leluasa latihan yang dilakukan murid-murid Munisai. Bennosuke menunjukkan murid-murid ‘yang itu’ kepadanya. Yang mana yang bernama Sannosuke, Madaemon, Yanabe, dan Matachiro.
Dorin terkejut begitu ia melihat kemampuan berpedang keempat orang itu sewaktu mereka berduel menghadapi murid-murid yang lain.
Apa anak ini tidak salah? Dilihat dari sudut mana pun, dia tidak akan menang melawan salah seorang pun dari empat murid Munisai ‘yang itu’. Apakah itu Sannosuke, Madaemon, Yanabe, ataupun Matachiro.
Dorin melihat mereka cukup ahli menggunakan bokken dan keempatnya tidak terkalahkan dalam latih tanding barusan.
Bocah ini cuma melantur saja! Ah, aku juga yang salah, termakan omongan anak kecil!
Keempat orang ini kemampuannya jelas di atas Bennosuke!
Namun ia tidak melihat perubahan ekspresi wajah Bennosuke ketika melihat keempat orang itu beraksi.
Selesai menyaksikan latih tanding itu, mereka berdua menuju ke pekarangan dan tanpa berkata apa pun, keduanya lalu duduk di batu-batu besar berbentuk pipih yang ada di sekitar pekarangan itu.
Dorin merasa penasaran dengan apa yang dipikirkan Bennosuke mengenai empat orang ‘yang itu’. Setelah menunggu beberapa saat dan Bennosuke masih berdiam diri, akhirnya Dorin memutuskan untuk menanyakan pendapat bocah itu.
“Apa benar kamu bisa mengalahkan mereka, Bennosuke?” tanyanya.
Bennosuke tahu siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’ oleh pamannya itu. Mereka adalah empat orang murid ‘yang itu’. Dengan santainya Bennosuke menggelengkan kepala. Ekspresi wajahnya biasa-biasa saja.
Dorin memandang keponakannya itu dengan wajah heran.
Tadi pagi anak ini bilang dia bisa mengalahkan keempat orang itu … kenapa sekarang berubah pikiran?
Bennosuke tahu apa yang dipikirkan pamannya. Ada banyak hal yang tidak bisa ia ceritakan kepada Dorin.
Disadari atau tidak, setiap orang pasti memiliki hasrat untuk menguji kemampuannya. Suatu hal yang wajar untuk mengetahui seberapa jauh hasil latihan yang telah ditekuninya selama ini.
Hal yang sama juga berlaku bagi Bennosuke. Oleh karena itu, ia mulai serius memerhatikan murid-murid ayahnya berlatih. Siapa di antara mereka yang sekiranya bisa ia kalahkan. Entah bagaimana ia memilih keempat orang itu – Sannosuke, Madaemon, Yanabe, dan Matachiro, sebagai bakal lawan tandingnya. Ia tidak memiliki persoalan pribadi dengan mereka. Ia mengamati latihan keempat orang itu, apa yang menjadi kelemahan dan keunggulan mereka dibandingkan dirinya.
Ia melatih dirinya seolah-olah suatu hari nanti ia akan berhadapan dengan Yanabe dan Matachiro. Setelah melihat latih tanding keempat orang itu, ia seperti menyadari sesuatu. Sesuatu yang terlintas dalam pikirannya. Sekilas saja. Apa yang ia alami ketika bertarung dengan si bandit kampung Madajiro.
Dorin menunggu penjelasan lebih lanjut dari Bennosuke. Dia menatap Bennosuke yang duduk di sebelahnya dan saat itu sedang memandangi pepohonan yang banyak terdapat di pekarangan rumah ini.
Anak ini terlalu lama bengong memandangi pepohonan. Dorin yang sudah tidak tahan lagi akhirnya bersuara.
“Eh, Bennosuke,” panggilnya perlahan.
Yang dipanggil menoleh.
“Kalau mengalahkan salah satu saja, bagaimana?” tanya Dorin. Dari empat orang itu, pasti ada satu yang paling lemah.
“Bagaimana menurutmu, apakah kau bisa mengalahkan Matachiro?” tanyanya lagi – memancing. Matachiro adalah yang paling lemah di antara mereka, menurut pengamatan Dorin.
“Ehm,” Bennosuke mengangguk mantap.
Anak ini terlalu percaya diri! Sepertinya dia memang masih belum mampu mengukur kemampuannya sendiri.
“Kok, aku sepertinya merasa kalau kemampuan dia itu masih satu level di atasmu,” kata Dorin meragukan apa yang barusan di-iya-kan Bennosuke.
“Ehm,” Bennosuke kembali mengangguk.
Anak ini mengakuinya!
“Eh, apa maksudnya dengan ‘Ehm’ itu?” tanya Dorin lagi.
“Tentu saja bukan sekarang, Paman. Bukan hari ini atau minggu depan. Tunggulah sampai tinggi badanku kira-kira sudah mendekati Matachiro.”
“Eh?” Dorin jadi bingung. “Lalu perkataanmu tadi pagi itu?”
“Itu? Itu mah cuma sebatas wacana.”
Dorin menjadi geregetan. Wacana? Cuma sebatas wacana? Apanya yang cuma sebatas wacana?
“Kamu itu! Kamu harus mengerti dengan jelas apa itu wacana dan apa itu rencana. Kedua hal itu memiliki batas-batas yang jelas. Kalau seperti tadi pagi, itu mah masuk kategori angan-angan, bukan wacana – boro-boro rencana.”
“Ya, aku tahu, kok,” jawab Bennosuke kalem. Gerutuan Dorin sepertinya tidak memengaruhinya. Ia kembali teringat peristiwa perkelahiannya melawan Madajiro dan Fukube. Ia bisa mengalahkan mereka karena keduanya tidak bersenjata dan hanya seorang yang tidak bertindak: Madajiro. Sementara Fukube memilih untuk berdiam diri dan mengamatinya. Gerakan Madajiro semata-mata berdasarkan kebiasaan berkelahi dengan tangan kosong melawan orang yang lebih lemah darinya.
Ketika berhadapan dengan Madajiro, ada saat ketika Bennosuke merasa dirinya dalam keadaan tanpa pertahanan – walaupun hanya sekejap, satu detik atau bahkan kurang dari itu, tetapi ia merasa ada kekosongan. Ada kelengahan. Satu detik yang seharusnya bisa dimanfaatkan Madajiro seandainya saja ia … seandainya saja lawannya itu memegang pedang – tidak, tidak perlu pedang, bokken sudah cukup. Jika Madajiro menggunakan bokken, ada kemungkinan serangan Bennosuke akan mengenai tsuba (pelindung tangan – yang menjadi pembatas antara bilah pedang dan gagang pedang) dan bukan ibu jari Madajiro. Bokken bentuknya bermacam-macam, di antaranya ada yang menyerupai pedang sungguhan, memiliki bilah pedang, gagang pedang, dan dilengkapi dengan tsuba.
Jika itu yang terjadi, maka Madajiro akan langsung membalas serangannya, menebaskan bokken-nya ke arah Bennosuke yang sempat selama ‘lengah’ selama kurang dari satu detik itu.
Dan hal seperti itu yang akan terjadi seandainya aku bertarung dengan murid Ayah, satu detik itu cukup buat mereka untuk menghajarku hingga terkapar.
Bennosuke tidak mengetahui apakah yang dipikirkannya sama dengan apa yang diperkirakan oleh ayahnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Madajiro dan Fukube mengenai jalannya pertarungan, tentu Munisai bisa menilai kemampuan Bennosuke menggunakan bokken – dan apakah kemampuan anaknya itu cukup untuk menghadapi muridnya dalam suatu duel – latih tanding satu lawan satu.
Awalnya Bennosuke menganggap kemampuannya sudah memadai – kegesitannya menghindari serangan lawan, ketangkasannya mengayunkan bokken, serta keakuratannya memukul sasaran, tetapi setelah melihat latih tanding keempat murid ‘yang itu’ barusan, ia akhirnya menyadari murid-murid ayahnya bukanlah pemain pedang kacangan. Gemblengan Munisai yang keras dan tuntutan disiplin yang tinggi tentu berpengaruh pada kekuatan fisik dan kemampuan teknik murid-muridnya. Munisai bukanlah seorang yang penyabar, namun ia adalah seorang guru yang hebat. Kalau tidak berlatih dengan sungguh-sungguh pasti … keempat orang ‘yang itu’ sudah tidak ada di sini. Mereka pasti tidak tahan dengan metode latihan yang diterapkan Munisai.
Wajar saja jika Bennosuke mengaku saat ini ia belum mampu mengalahkan salah satu pun dari empat murid ayahnya ‘yang itu’. Tetapi sedikit pun ia tidak memperlihatkan rasa takut. Ia menolak bertarung bukan karena ia takut.
Dorin memerhatikan Bennosuke. Tampang kalemnya mau tak mau membuat Dorin berpikir.
Anak ini menyadari kemampuannya. Ia memutuskan untuk tidak bertarung bukan karena ia takut. Ia telah belajar mengenali dirinya dan juga mengenali musuhnya. Eh? Masa sih? Sonshi lagi?
Bennosuke terus-menerus membuatnya terkejut.
Dua hari berlalu sejak ia bersama Bennosuke menyaksikan latihan pedang murid-murid Munisai di dojo – dengan fokus pada kemampuan empat orang murid ‘yang itu’, dan satu hari setelah Munisai mengutarakan keinginannya agar ia mau mengasuh dan mendidik Bennosuke di kuil Shoreian, tempat tinggalnya selama ini.
Kini bocah itu sudah duduk bersamanya lagi di atas batu pipih di pekarangan rumah ini. Mereka berdua biasa menghabiskan waktu sore hari di tempat ini membicarakan banyak hal di luar pelajaran tulis menulis, sejarah, ataupun ilmu pedang.
“Kamu mengintip ke dalam dojo lagi?” tanya Dorin.
Bennosuke mengangguk.
“Masih penasaran dengan empat orang ‘yang itu’?” godanya.
“Tidak,” Bennosuke menggelengkan kepalanya.
“Lalu barusan kamu ...”
“Melihat murid-murid mengepel lantai dojo. Hehehe.” Bennosuke tertawa.
Dorin memandangi Bennosuke yang sedang tertawa – seolah-olah meneliti suasana hati bocah itu yang sesungguhnya.
Pandangannya lalu terhenti pada sesuatu yang sedang digenggam Bennosuke. Benda yang baru saja dikeluarkan dari balik obi-nya.
“Apa itu?” tanya Dorin.
“Ini,” Bennosuke membuka genggaman tangannya dan memperlihatkan benda yang ditanyakan Dorin.
Oh, teru teru bozu pemberian Otsu beberapa hari yang lalu.
“Bahagianya punya pacar yang penuh perhatian,” kata Dorin menggoda.
Bennosuke langsung cemberut.
“Kenapa belum kaugantung?” tanya Dorin lagi.
Bennosuke menggelengkan kepalanya. “Beberapa hari ini cuaca selalu panas, sepertinya tanpa kugantung pun hujan tidak akan turun.”
“Bennosuke, kamu harus menghargai pemberian Otsu. Dia sudah bersusah payah membuatnya. Gantunglah – paling tidak dia akan senang melihatnya,” Dorin memberi saran. “Bisa jadi dia akan berpikir cuaca yang panas ini karena teru teru bozu pemberiannya yang kaugantung di jendela itu betul-betul manjur.”
Walaupun Bennosuke terlihat seperti memerhatikan Dorin berbicara, sebenarnya ia mendengarkan perkataan pamannya itu dengan ogah-ogahan. Sekilas pikiran konyol melintas di benaknya.
Apalagi kalau Paman yang menongkrong di jendela, pasti lebih manjur ...
Berpikir begitu, Bennosuke jadi cengengesan sendiri. Kebetulan teru teru bozu artinya memang ‘bersinar-bersinarlah biksu’.
Walaupun Dorin tidak suka berpikiran negatif, namun senyum cengengesan Bennosuke tak urung membuatnya curiga. Dorin memang memiliki perasaan yang peka, di samping itu ia juga mampu menerka apa yang sedang dipikirkan seseorang. Ia memandangi Bennosuke dengan raut muka masam.
Apa yang barusan dipikirkan bocah ini? Kok aku sepertinya tidak suka dengan senyum cengengesannya itu.
“Eh, kenapa Paman, kok mukanya merengut begitu?” Bennosuke kebingungan melihat perubahan ekspresi wajah pamannya.
Jadi jelek tahu.
Bennosuke tidak menyadari kalau dialah beserta pikiran konyolnya yang menjadi sumber penyebab Dorin bermuka masam. Bennosuke menatap pamannya yang masih merengut itu.
“Jadi menurutmu ada yang lebih cocok untuk menangkal hujan ketimbang teru teru bozu yang digantung di jendela?” tanya Dorin – langsung pada sasarannya.
Bennosuke terbelalak. Walaupun ia sudah menduga Dorin mampu membaca pikirannya, tetap saja ia terkejut.
Masa? Paman benar-benar tahu apa yang kupikirkan barusan …
“Kebetulan sekali, Bennosuke,” kata Dorin sambil menyeringai – setelah selesai merengut.
Eh, apanya yang kebetulan? Bocah itu terlihat bingung.
“Kebetulan besok pagi ada pelajaran membaca dan menulis.”
“Terus?” Bennosuke menatap pamannya dengan curiga. Biasanya kan setiap pagi memang ada pelajaran membaca dan menulis. Apanya yang kebetulan?
“Kamu kan belum pernah menulis huruf kanji teru teru bozu, jadi besok kamu akan menuliskannya sebanyak dua ratus kali!”
“Hah? Lha, kok?” Bennosuke bermaksud memprotes.
“Tidak ada ‘Hah? Lha, kok?’,” kata Dorin tegas. “Pokoknya besok harus kamu kerjakan!”
Sekarang Dorin yang cengengesan – senang, dan Bennosuke yang merengut.
Mukanya merengut, hatinya meradang.
Walaupun Dorin menampakkan wajah yang ceria dan nada bicaranya penuh semangat, apa yang ada di dalam hatinya berbeda.
Aku belum bisa mengatakannya. Apa yang akan dipikirkan anak ini jika dia tahu ayahnya menginginkannya keluar dari rumah ini?
Bagian (20), (19), (18), (17), (16), (15), (14), (13), (12), (11) dan sebelumnya
#Tantangan100HariMenulisNovel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H