Bennosuke tahu siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’ oleh pamannya itu. Mereka adalah empat orang murid ‘yang itu’. Dengan santainya Bennosuke menggelengkan kepala. Ekspresi wajahnya biasa-biasa saja.
Dorin memandang keponakannya itu dengan wajah heran.
Tadi pagi anak ini bilang dia bisa mengalahkan keempat orang itu … kenapa sekarang berubah pikiran?
Bennosuke tahu apa yang dipikirkan pamannya. Ada banyak hal yang tidak bisa ia ceritakan kepada Dorin.
Disadari atau tidak, setiap orang pasti memiliki hasrat untuk menguji kemampuannya. Suatu hal yang wajar untuk mengetahui seberapa jauh hasil latihan yang telah ditekuninya selama ini.
Hal yang sama juga berlaku bagi Bennosuke. Oleh karena itu, ia mulai serius memerhatikan murid-murid ayahnya berlatih. Siapa di antara mereka yang sekiranya bisa ia kalahkan. Entah bagaimana ia memilih keempat orang itu – Sannosuke, Madaemon, Yanabe, dan Matachiro, sebagai bakal lawan tandingnya. Ia tidak memiliki persoalan pribadi dengan mereka. Ia mengamati latihan keempat orang itu, apa yang menjadi kelemahan dan keunggulan mereka dibandingkan dirinya.
Ia melatih dirinya seolah-olah suatu hari nanti ia akan berhadapan dengan Yanabe dan Matachiro. Setelah melihat latih tanding keempat orang itu, ia seperti menyadari sesuatu. Sesuatu yang terlintas dalam pikirannya. Sekilas saja. Apa yang ia alami ketika bertarung dengan si bandit kampung Madajiro.
Dorin menunggu penjelasan lebih lanjut dari Bennosuke. Dia menatap Bennosuke yang duduk di sebelahnya dan saat itu sedang memandangi pepohonan yang banyak terdapat di pekarangan rumah ini.
Anak ini terlalu lama bengong memandangi pepohonan. Dorin yang sudah tidak tahan lagi akhirnya bersuara.
“Eh, Bennosuke,” panggilnya perlahan.
Yang dipanggil menoleh.