Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Tahu Kamu Tidak Ada

13 Februari 2016   18:42 Diperbarui: 13 Februari 2016   18:50 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrai (www.screamparkuk.com)"][/caption]

Kejadian ini kualami ketika usiaku belum genap sepuluh tahun. Aku melihatnya di sudut kamarku dekat jendela. Dia aneh sekali. Seperti orang yang baru mengalami kecelakaan. Seorang laki-laki yang wajahnya rusak. Matanya pun satu tidak bisa ditutup. Mulutnya terluka memanjang dari kiri ke kanan melintang dari dagu hingga bagian pipi di bawah mata terus hingga ke telinga. Sebagian rambut dan kulit kepalanya mengelupas. Dia menyeringai menatapku.

Aku melihat Mama yang sedang membacakan cerita dari buku dongeng kesukaanku. Tanganku menyentuh lengan Mama.

“Ada apa, Sayang?” tanya Mama lembut.

Aku menunjuk ke tempat dia berada.

Mama menoleh ke arah yang kutunjuk. Dia terus memperhatikan tempat itu.

“Ben melihat sesuatu?” tanya Mama.

Aku mengangguk.

Mama kembali melihat ke arah itu.

“Mama tidak melihat apa-apa,” katanya. “Mungkin Ben salah lihat?”

Aku menggelengkan kepala. “Dia masih ada di sana, Ma.”

Mama bangkit berdiri meninggalkan tempat tidurku lalu menuju tempat itu.

Kulihat Mama berjalan mendekati jendela dan melewati orang itu. Orang berwajah mengerikan yang sedang berjongkok sambil terus memandangiku.

Aku takut dia akan melukai Mama. Aku bermaksud berteriak memperingatkan Mama …. ketika kulihat Mama menabrak orang itu. Tidak, Mama melewatinya. Bukan! Mama menembus tubuh orang itu! Ternyata orang itu tidak memiliki fisik yang padat. Jelas sudah sekarang. Dia bukan manusia. Dia makhluk halus!

Aku tertegun melihat Mama berputar-putar di tempat itu.

“Di mana Ben? Tidak ada apa-apa di sini,” kata Mama.

Aku mengangguk lesu. Hanya aku yang bisa melihatnya.

“Mungkin kamu kebanyakan nonton film kartun atau bermain game,” kata Mama lagi.

Aku kembali mengangguk. Sepertinya percuma memberi tahu Mama.

“Ya, sudah. Kamu tidur saja, ya, Sayang. Besok harus bangun pagi, siap-siap untuk sekolah.” Mama mengecup keningku.

“Selamat tidur,” kata Mam.

“Good nite, Mom,” balasku. Aku memang terkadang berbicara dalam bahasa Inggris kepada kedua orangtuaku. Mereka berharap aku bisa sering-sering menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa percakapan di rumah. Fasih berbahasa asing itu penting, demikian yang dikatakan mereka.

Mama melangkah ke arah pintu, mematikan lampu, lalu berjalan keluar, dan meninggalkanku sendirian.

Kini hanya ada aku dan orang itu. Aku tahu dia masih di sana.

Kulihat pantulan cahaya di matanya. Dia masih terus memandangiku. Kubalas tatapannya. Mataku mulai terbiasa dalam gelap. Cahaya lampu taman menembus tirai jendelaku memberi sedikit penerangan. Sedikit sekali.

Dia tidak bergerak. Dia masih terus berjongkok di tempatnya.

Aku merasa takut. Tapi kupaksakan diriku untuk tidur. Aku berbaring miring ke sebelah kanan, memunggungi orang itu – si makhluk halus. Kututup wajahku dengan bantal.

Entah berapa lama aku tak ingat. Rasanya belum lama aku pulas ketika aku mendengar sesuatu.

“Ben …” terdengar suara serak menyebut namaku.

Aku berusaha tak menghiraukannya – aku tahu pasti siapa yang memanggilku.

Siapa lagi? Selain aku, hanya ada dia di kamarku saat ini.

“Ben …” panggilnya lagi.

Aku sungguh ketakutan. Aku sungguh-sungguh merasa ketakutan. Keringat dingin mengucur membasahi keningku, punggungku, dan aku menggigil. Aku ingin berdoa tetapi tak ada satu pun doa yang kuingat.

Aku … makhluk ini … aku tahu dia tidak nyata. Dia tidak mempunyai tubuh yang padat. Dia tidak … dia bukan makhluk hidup. Dia …

Aku segera bangun dan duduk di ranjang.

Aku menatapnya.

“Ben …” panggilnya lagi.

Kuperhatikan wajah itu dari jarak sedekat ini. Mungkin hanya tiga jengkal jaraknya.

Wajah yang mengerikan. Jauh lebih mengerikan melihatnya dari jarak sedekat ini.

Matanya menatapku.

Aku terdiam. Aku ketakutan. Sangat ketakutan. Tetapi … apa lagi yang bisa kulakukan. Aku hanya tahu satu hal …

Makhluk ini sekarang mengangkat tangannya. Tangan yang penuh luka. Jari-jemari yang sudah tidak utuh, sebagian jarinya tidak lengkap, yang lengkap pun sepertinya penuh luka. Sepertinya beberapa tulang jari itu kelihatan.

Aku terdiam. Kubiarkan tangan itu mendekat.

…..

Tidak terjadi apa-apa.

Tangan itu tidak bisa menyentuhku. Seperti Mama yang tidak bisa menyentuhnya dan dia tidak bisa menyentuh Mama.

Maka dia pun tidak bisa menyentuhku.

Aku tahu itu.

“Aku tahu kamu tidak ada,” kataku. You do not exist.

“Ben …” dia kembali menyebut namaku. Lalu perlahan-lahan dia berjalan mundur. Tertatih-tatih dia kembali ke tempatnya semula. Di sudut kamarku.

Aku menghela napas lega. Tubuhku ternyata sudah basah kuyup penuh keringat. Keberanianku sudah sampai puncaknya. Kini aku merasa lelah sekali.

Namun aku tidak bisa memejamkan mataku. Kuperhatikan sudut tempat dia berada. Tidak ada apa-apa. Entah ke mana dia.

Aku tahu dia sudah tidak berada di kamarku lagi. Entah kenapa aku bisa merasakannya.

Akhirnya aku terlelap. Tidur dengan pulasnya.

*****

Lima tahun telah berlalu sejak kejadian di kamarku itu. Kini aku mulai terbiasa dengan pemandangan ‘tidak biasa’ yang kulihat. Makhluk-makhluk aneh yang bertengger di batang pohon di sepanjang jalan kompleks tempat tinggalku. Makhluk-makhluk di laboratorium sekolahku. Makhluk-makhluk di berbagai tempat lainnya. Di mal, kolam renang, tempat kursus bahasa Inggris, dan masih banyak tempat lainnya.

Aku tidak pernah menggubris mereka. Aku pun tidak pernah memberitahukan keberadaan mereka kepada yang lain – kedua orangtuaku, kakak dan adikku, teman-temanku, para guru, dan lain-lain. Buat apa? Toh mereka tidak bisa melihatnya.

Jika ada di antara makhluk itu yang menghampiriku, aku tidak akan menggubrisnya.

Aku hanya akan mengatakan, “Aku tahu kamu tidak ada.”

 

TAMAT

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun