Mohon tunggu...
Rozza
Rozza Mohon Tunggu... -

lagi menyendiri, mencari harmony..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dari Balik Kaca Jendela

25 Februari 2010   16:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku memandangimu lewat kaca jendela rumahku.

Setiap hari. Dari pagi, hingga ke pagi lagi.

Aku mencari-cari kesempatan untuk menatap bening bola mata itu.

Menghirup sisa aroma maskulin wangi tubuh tersapu angin.

Menikmati sentakan rambutmu yang bergerak seirama langkah kaki.

Dan seperti biasa, tak mudah.

Karena engkau selalu lenyap di tikungan, segera setelah aku keluar rumah.

Kegilaanku muncul.

Ku tapaki jejak-jejak langkahmu di jalanan berdebu.

Berharap engkau balik kanan dan berpapasan denganku.

Sehari, seminggu, sebulan.....

Dari matahari, bintang, sampai kerlip rembulan yang mulai jengah menatapku tiap malam.

Menunggumu muncul dari ujung jalanan berbatu kerikil.

......................................................

Ketukan di pintu kaca mengagetkan aku.

Berlari keluar, membuka daun pintu....

Aku terjerembab, ketakutan, gelisah, mengaduk aduk hatiku.

Melolosi tulang-tulangku.

Hingga mataku terpejam menahan bumi yang terasa terjungkal.

"Apakah aku mengganggumu?", sepotong senyuman memporak porandakan hatiku.

Ku gelengkan kepala. Lidahkupun enggan diajak kompromi.

Waktu berhenti berputar.

Duh Gusti ALLAH, makhluk apa yang Engkau kirimkan kepadaku ini?

"Tolong sampaikan ini kepada Ayahmu", disodorkannya sebuah bungkusan, sebelum kesadaranku kembali ke angka 100%.

Aku mengangguk.

Sekali lagi, kau tinggalkan sebuah senyuman, berbalik arah dan melangkah gontai. Sedangkan aku masih ternganga di batas antara waras dan sakit jiwa.
Hari ke tiga puluh tujuh.....

Ku tapaki kembali jejak langkah kaki, hingga menghilang di tikungan beraspal.

Tak ku temukan apapun, selain kegelisahan diri.

Pun juga di hari hari berikutnya.

Aku tetap membuka jendela, memandangi keluar, berharap engaku lewat dan menoleh sebentar ke arahku

Nah, itu dia...

Namun tak seperti biasanya, yang selalu mantap menantang ujung jalan dengan mata liarmu.

Kali ini kau berjalan menunduk.

Perlahan pesonamu memudar dari bayanganku.

Kemana perginya sorot mata elang itu?

Kemana remuknya patahan tangan kekar itu?

- Ah, ternyata itulah sisi lain dirimu.

Kau sembunyikan nyinyir luka batin di balik kekekaran jemarimu.

Kau simpan bara ego di balik senyum mautmu.

Kau pendam deras air mata di balik sorot mata elangmu-

"Kenapa berpura-pura tegar, jika itu hanya akan meremukkanmu dari dalam?"

"Orang-orang tak butuh air mataku", jawabmu luruh.

Ya, tak ada yang butuh air matamu.

Tak juga aku.

Aku lebih suka melihatmu menebar pesona dengan kilatan binar mata dan senyummu yang angkuh.

Meski untuk itu, akulah yang harus pontang panting menata hatiku sendiri.

Tapi saat ini kulihat kau terlalu rapuh.

Bahkan engkau bersembunyi dari hiruk pikuknya para dewi yang memujamu.

Dan aku merasa sangat asing denganmu

Kekagumanku padamu sudah jatuh ke titik nol.

Akan ku tutup jedela kacaku. Saat ini.

*untuk nama yang tak ingin ku ungkap.....*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun