Matahari sudah terlena dalam lelapnya sejak lama, Adzan magrib tanda berbuka puasa pun sudah tuntas melaksanakan tugasnya di hari itu, membimbing para kawula muslim untuk menuntaskan segala nafsunya yang terkekang di bulan yang suci, termasuk nafsu berahi yang baru saja tuntas di selesaikan oleh pasangan suami istri, di rumah petak yang sempit di kawasan Jl Kramat.
“….Nah, gitu tho dek, kamu kok tambah lama tambah ciamik tho ya..seneng aku”
“Ihiiikk..ihiikk..mas’e itu lho, aku kan tahu, makanya aku rajin yoga”
“Siapa itu yoga?”
“Jangan cemburu, itu lho mas, senam yang mlentang-mlenting itu, makjos tho hasilnya mas ku?” Ujar sang istri dengan genit.
“Hooh dek…hufft, mantab”
Seusai menuntaskan hasrat terakhirnya, lelaki yang di panggil mas’e tersebut kemudian memiringkan badannya kesamping, menurunkan sarungnya dan mengambil sebatang kretek.
Suasana hening, lelaki tersebut tampak kelelahan, namun pikirannya masih melayang-layang, matanya menatap jauh ke kaca rias istrinya, di sudut atasnya tertempel stiker berwarna merah dengan hiasan namanya disana, Wahyu Setiaji, Ketua.
Kret, kret, terdengar istrinya mendekat. Sebagai istri yang tanggap sasmita dan lemah lembut, tentu ia sangat tahu bagaimana men-servis suaminya, bukan hanya dalam hal ranjang tapi juga dalam hal berbagi pikiran. Di julurkannya tangan putih mulus itu ke atas tangan Wahyu, yang kasar dan berurat tak jelas dengan maksud menenangkan.
“Mas’e kenapa, kok kayak banyak pikiran ya?”
“Hmm..enggak, biasalah dek, masalah partai..”