Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jejak Sang Panglima: Tawang Gapuraning Ngesti Tunggal

2 Januari 2016   15:29 Diperbarui: 2 Januari 2016   15:46 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="http://johnbean.deviantart.com/"][/caption]Awan kelabu gelap nampak menggelayut di cakrawala, sudah seminggu belakangan matahari seakan sudah lupa bersinar, berganti dengan hujan yang silih berganti dengan mendung. Udara dingin memberangus siapa pun untuk menggigil. Jika begini, bisa apes nasib padi-padi yang baru satu minggu di tanam, begitu pikir seorang lelaki tua sederhana dengan cangkul di pundaknya.

Ia pun duduk di bilik bale-bale yang dibangun bersama temannya sesama petani, teman petaninya yang memiliki perawakan lebih tua dan berjenggot putih sudah duduk menunggunya dari tadi dengan raut wajah yang seperti mengisyaratkan sesuatu. Kadiman, si teman petani tadi mulai mengambil serpihan daun tembakau dan menaburkannya pada selembar daun jagung, kemudian membakarnya dengan korek api merek Wang Khuang yang cukup melegenda.

Kepulan asap tipis dari tingwe yang dihisapnya betul-betul mengundang selera dan biasanya, setelah hati dan pikiran sudah cukup tenang mereka akan mulai berbicara dan tertawa tentang apa saja, terutama masa muda mereka. Namun kali ini sepertinya tidak.

"Kau tahu dua hari lagi kita akan berganti tahun?"

"Ya, aku tahu itu, tapi apa artinya buat kita man. Sama saja, yang paling kupikirkan sekarang adalah tidak adanya matahari muncul dari langit, sudah tujuh hari sejak kita menanam benih. Bisa hancur panen kita nanti"

Setelah berkata demikian, detik itu juga bulu kuduk mereka tiba-tiba berdesir disirep udara dingin, udara yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Kedua petani tua itu termasuk golongan tua waskita, yang selalu tanggap terhadap perubahan udara, angin dan tanda langit, seperti itu juga yang terjadi pada saat itu.

"Apa kau merasakannya?"

"Ya, aku merasakan..dingin sekali..seperti ada yang ingin menyabut nyawa"

"Aku bukan hanya merasakan angin, tapi juga langit, perhatikan..dari semua gerundelanmu tentang matahari, mungkin ini pertanda, itu seperti wangsit. Mereka berbicara Kedah.."

Yang diajak bicara hanya diam, Kedah memejamkan mata, tekun dalam aktifitasnya membaca tanda alam.

Awan semakin gelap, padahal hari belum juga teramat sore, sebetulnya masih waktunya bagi mereka untuk kembali bekerja. Tapi hati mereka terasa lain di hari itu, hari dimana banyak sekali burung gagak pemakan bangkai terbang melintas desa Bajulan. Desa yang tentram dan damai, desa yang terletak di lereng Gunung Wilis 15 kilometer ke arah selatan kota Nganjuk, Jawa Timur. Desa dengan pemandangan indah yang sangat jarang terjamah oleh pertanda buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun