Pasukan Belanda terus mengejar dan menyerang, satu granat tangan dilemparkan ke arah prajurit Indonesia dan mengenai beberapa prajurit, namun tak seberapa parah, untungnya di depan ada kali yang melintang. Rombongan terus bergerak ke arah kali, sambil menembaki Belanda yang mengejar di belakang. Belanda terus membombardir dengan senjata bren, senjata dengan peluru yang sangat banyak dimuntahkan dalam satu waktu.
Cipto tetap gigih membawa tandu sambil terus menyebrangi sungai, dia sudah tak peduli apapun, ingatannya hanya kepada tugas dan anak perempuannya, Galuh. Bren Belanda terus menyerang tiada henti, beberapa prajurit berhasil melintasi kali dan sudah kembali memasuki hutan meskipun beberapa menjadi mayat di pinggiran kali. Dan beruntung, Belanda enggan memasuki hutan karena mengira mungkin ini jebakan.Â
"Istirahat dahulu, kita berhenti disini". Rombongan pun menghentikan langkah mereka di pohon beringin yang lebat, sesaat mereka aman beristirahat di balik beringin yang menutupi segala pandangan dari arah kali tadi.Â
Setelah suasana dirasa aman, Panglima mulai keluar dari tandu, ia ingin menghitung berapa sisa prajurit yang selamat dari pertempuran tadi. Panglima berjalan berkeliling dan melihat para prajurit yang terduduk kelelahan. Namun dia tidak menyadari bahwa dibelakangnya ada satu jari sedang menarik pisau dari balik sabuk prajurit.
Dengan satu gerakan, prajurit tersebut trengginas menyerang dari belakang, tangan kirinya menelikung tangan dan tangan kanannya menodongkan pisau ke leher panglima.
"Menyerahlah panglima, maaf kalau aku sedikit kasar, tapi inilah tugasku"
"Cipto, apa yang kau lakukan?" teriak Babon demi melihat kawannya menjadi nekat menyerang panglima. Beberapa prajurit lain dengan sigap langsung mengambil senjata mereka.
"Aku muak dengan segala omong kosong perjuangan, tak ada yang bisa meninggikan derajat hidup kita! kau dengar itu? hah!" teriak Cipto seperti kesetanan.
"Ini sudah berakhir, aku muak dengan ini semua, aku mendapat jaminan dari negeri Belanda, kita bisa hidup enak disana Babon, ikutlah denganku!"
"Kau sinting"
Tapi Cipto sudah gelap mata, dia menyeret tubuh panglima yang kurus kembali menuju kali, berniat untuk diserahkan hidup-hidup kepada Belanda. Namun naas, ketika menyeret tubuh panglima, kaki panglima dengan sengaja menyangkutkan diri pada akar pohon beringin yang muncul di permukaan tanah. Cipto tak bisa menjaga keseimbangan dan terjatuh. Sedetik menyentuh tanah, Panglima dengan kesigapan ala tentara langsung bangkit berdiri lagi dengan posisi tubuh yang berbeda dari ketika keluar tandu.