Pagi itu hujan gerimis, rombongan pun berangkat serentak menuju utara, sekitar lima orang prajurit membawa tandu bergaris dua, sebagian besar prajurit berjalan di depan iringan tandu dan menyisakan sedikit di belakang. Suparjo dan Nolly berjalan beriringan di kiri dan kanan tandu, mata mereka awas, telinga mereka sudah dikorek sehingga mampu mendengar bunyi apapun yang mencurigakan, tangan mereka seakan ada magnet dengan pistol dan senapan.
Hingga tengah hari akhirnya rombongan tersebut menemukan sebuah rumah mungil di pinggir hutan, mungil namun nyaman untuk sekedar melepas lelah, dinaungi oleh banyak pohon randu dan satu beringin. Suparjo yang berpangkat kapten, baru saja merebahkan punggungnya di tiang bambu ketika seorang telik sandi datang melapor.
"Apa yang kau bawa untukku?" tanya Suparjo.
"Mereka sudah tahu gerakan kita, kemungkinan dari warga, saat ini mereka sudah mengirim sinyal kepada yang lain untuk bergerak"
"Pasti bukan warga, tapi aku belum bisa memastikan siapa. Berapa lama waktu kita untuk bergerak?"
"Kalau sekarang, mereka akan curiga kita sudah tahu informasi lebih dahulu. Butuh waktu dua jam bagi pasukan mereka menuju kesini. Artinya satu jam lagi kita bergerak"
Informasi berguna tersebut langsung diteruskan kepada Nolly yang juga merawat Panglima di tengah sakitnya. Nolly pun menghentikan istirahatnya dan langsung mengadakan rapat kilat.
Â
****
Â
Satu jam bukanlah waktu yang lama, hujan sudah reda namun tak jua memunculkan matahari sehingga kondisi udara semakin dingin saja dan itu membuat batuk panglima semakin terdengar jelas. Namun waktu tak bisa kembali, mereka harus terus bergerak dan sudah diputuskan, mereka bergerak ke selatan, lima menit lebih awal.