Rombongan dalam jumlah besar bergerak keluar gubuk, setengah mengendap mereka menyusuri jalan setapak di pinggir hutan, jalanan yang licin habis hujan membuat perjalanan mereka tak leluasa. Mereka perlahan berjalan dengan formasi memanjang untuk menyesuaikan lebar tandu. Namun tepat ketika baris terakhir masuk ke daerah hutan, terdengar suara gemuruh dari langit, P-15 Mustang Cocor Merah menuju arah mereka.
"Cocor merah!! Merunduk!"
Seluruh pasukan merunduk ketika bunyi seperti sirine panjang mengalun membelah angkasa, alunan yang mengerikan sebelum akhirnya meledakkan rumah mungil yang baru saja mereka tempati. Rumah hancur lebur, asapnya membumbung di angkasa. Belum lagi mereka mengangkat kepala, sirine kembali terdengar dan kali ini meledakkan satu kandang sapi di dekat rumah tersebut.
Pesawat riuh rendah terbang di atas mereka, tapi tak satupun peluru pesawat yang mengarah ke mereka.
"Kita harus tetap bergerak, ayo maju terus"
Rombongan terus maju memasuki hutan, di belakang mereka suara derap langkah dan kendaraan mulai mengikuti. Cipto yang bertugas mengangkat tandu mulai mempercepat langkah diikuti oleh yang lain, misi mereka satu "menyelamatkan Panglima".
Derap langkah semakin terdengar jelas diikuti mulai terlihatnya helm coklat dan kulit yang putih. Entah siapa yang memulai ketika satu buah peluru karabijn menembus helm coklat tersebut dan memuncratkan darah segar bercampur kelabu. Satu penjajah mati.
Sial bagi rombongan Panglima, matinya satu prajurit tadi membuat posisi mereka terdeteksi jelas oleh musuh, musuh mulai berduyun-duyun mendatangi rombongan dengan senapan terhunus.
"Menyebar, lakukan baris pendem!"
Rombongan mulai menyebar dan melakukan baris pendem, tubuh mereka segera menyatu dengan tanah dan oleh sebab itu musuh tak bisa langsung melihat posisi mereka. Tapi strategi ini cukup berbahaya, karena jika gagal, mereka tak punya waktu untuk bangun dan berlari.
Prajurit Belanda mulai menyadari posisi mereka lebih tinggi dari musuh, dan ini sangat berbahaya. Tapi terlambat, baku tembak mulai terjadi dengan tidak seimbang, posisi yang rendah menyebabkan prajurit Indonesia lebih cepat untuk mengukur akurasi tembakan, beberapa prajurit Belanda terluka terkena tembakan bahkan ada yang mati. Rombongan dengan cepat kembali bangkit dan berlari ke arah Selatan.