"Tapi--,"
"Sudahlah," potong Pandu. Â "Lagipula kau tahu bahwa penjelajahan angkasa adalah cita-citaku sejak kecil, katakanlah sejak kita tak sengaja menemukan frekuensi sebuah pesawat penjelajah antariksa. Â Karena itu saat mereka membuka lowongan sukarelawan untuk Project Einstein, aku langsung mendaftar."
"Meski kau tahu konsekuensinya," desah Nefa. Â Gadis itu kini memandang langit jingga. Â Di antara awan, samar terlihat bayangan sebuah pesawat penjelajah yang saat ini sudah masuk tahap akhir perakitan sekaligus ujicoba.
"Ya," Pandu mengikuti adiknya memandang langit. Â "Perjalanan ini adalah perpisahan."
* * *
Juni 2047.
"Apa kabar, Nefa?" sapa Pandu pada Nefa. Â Setiap 3 hari sekali seluruh awak misi diizinkan menggunakan fasilitas video call untuk bercakap-cakap dengan siapapun di Bumi.
"Hai, Kak," balas Nefa riang. Â "Kau sendiri bagaimana?"
"Sejauh ini semua berjalan baik," tukas Pandu. Â "Tugasku di sini mulai jelas." Â Untuk kesinambungan, misi ini diawaki mereka yang sudah senior dan berpengalaman serta dibantu pemuda-pemuda sukarelawan berusia belasan tahun. Â Para sukarelawan muda ini kelak menggantikan awak senior yang meninggal dalam misi. Â "Aku sama sekali tak menyangka kelakuanku dulu malah jadi poin utama saat mereka memilihku ikut misi," Pandu tersenyum. Â "Sepertinya tempatku memang di sini."
"Aku ikut senang, Kak," balas Nefa lagi. Â "Kau memang hebat!"
"Kau juga, Nefa. Â Nah, sekarang aku hanya mau mendengar ceritamu."