Pendahuluan :
"Efemeral" adalah miniseri sehingga jumlah chapter-nya tidak akan banyak. Â Kisah ini adalah murni fiksi, apabila ada kesamaan nama dan peristiwa itu merupakan ketidak-sengajaan. Â Selamat menikmati!
CHAPTER 1
A...ap..apa?
Apa yang terjadi pada diriku?!
Aku melompat dari tempat tidur.  Tempat tidur yang paling nyaman yang pernah kurasakan. Mataku liar memandang sekeliling ruangan. Tempat itu jelas sebuah kamar tidur.
Tapi ini bukan kamarku!
Aku di mana?!
INI DI MANA?!
Pandanganku lalu tertumbuk pada sebuah cermin besar di kamar tersebut. Aku bergegas menghampirinya. Dan ketakutanku yang paling besar, yang sejak tadi kurasakan saat membuka mata, benar-benar terjadi! Aku sama sekali tak mengenal sosok yang terpantul di cermin besar tersebut, sosok dengan wajah rupawan dan otot-otot bisep yang jelas terbayang di balik kaus yang kukenakan. Aku meraung!
KENAPA?!
APA YANG TERJADI?!
"Mas! Mas Bagus!" terdengar ketukan - mendekati gedoran - di pintu kamar.
Aku tak mempedulikan ketukan tersebut. Aku masih kacau dan tak mampu mencerna apa yang sedang kualami saat ini, bahkan aku tak siapa yang siapa manusia bernama 'Bagus' itu.
"Mas!" terdengar suara pintu dibuka kemudian seorang perempuan tua berusia sekitar 60 tahun memasuki kamar. "Mas Bagus," panggilnya.
Aku menoleh memperhatikan perempuan tua tersebut. Sungguh, aku sama sekali tak mengenalnya. Untuk beberapa saat lamanya kami berpandangan dalam diam.
"Mas," perempuan tua itu kembali menegurku, "masih kenal Simbok?" tanyanya. Entah kenapa nada suaranya sungguh membuatku tenang. Aku pun menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaannya barusan.
Perempuan tua itu menghela napas.
"Duh Gusti," keluhnya. "Kejadian lagi."
Aku masih termangu berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada diriku ketika perlakuan perempuan tua itu terhadapku berubah. Pandangan matanya berubah tajam, suaranya pun kini terdengar marah.
"Siapapun kamu, lebih baik segera keluar dari tubuh majikanku!"
Aku terhenyak!
"Bu," panggilku. Namun perempuan tua melangkah mundur dan keluar dari kamar. "Keluar kamu! Keluarlah dengan sukarela daripada kamu harus diusir!" serunya, setelah itu ia menutup pintu kamar dan menguncinya dari luar.
Aku kembali termangu.
* * *
Segarnya air shower membuatku bisa lebih tenang - setidaknya untuk saat ini. Namun sungguh, aku masih tak mampu memahami apa yang terjadi pada diriku. Aku hanya ingat semalam sebelumnya tubuhku demam tinggi dan napasku tersengal-sengal sebelum kesadaranku perlahan memudar. Aku bergidik. Ribuan pertanyaan menghantuiku, dan semuanya membutuhkan jawaban. Segera.
* * *
"Bu, saya boleh pinjam telepon?" tanyaku ketika perempuan tua itu masuk dan membawakan makanan.
"Buat apa?" tanyanya ketus. "Lebih baik kamu cepat pergi. Tubuh itu bukan milikmu!"
Aku memandang makanan yang disajikan, benar-benar makanan mewah untuk ukuranku.
"Saya benar-benar minta maaf, Bu. Saya juga beneran nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi," ucapku akhirnya. "Saya cuma ingat semalam saya sedang demam tinggi, setelah itu saya nggak ingat apa-apa, dan tahu-tahu sudah terbangun di sini."
Perempuan tua itu memandangku dengan tatapan tajamnya.
"Ada telepon persis di seberang kamar ini, kamu bisa pakai."
* * *
"Halo?" terdengar suara seorang lelaki beberapa saat setelah aku menghubungi nomor ponselku sendiri. Suara itu terdengar sedikit tertekan sementara sayup aku menangkap suasana yang lebih ramai dari biasanya.
Aku bahkan mendengar suara tangisan.
"H... halo," jantungku berdegup semakin kencang, perasaanku campur aduk tak karuan. Entah kenapa aku memiliki firasat buruk.
"Ya, Mas cari siapa ya?" tegur orang yang menjawab teleponku tadi. "Mohon maaf, bisa cepat sedikit?"
Aku tersadar.
"Maaf, apa ini bener nomernya Restu?  Restunya ada?"
Terdengar helaan napas berat di ujung sana, dan degup jantungku terdengar makin kencang. Di ujung telepon, suara lawan bicaraku terdengar makin bergetar dan jelas ia tak mampu menahan kesedihannya.
"Bener, ini bener nomer beliau. Tapi mohon maaf, beliau sudah nggak ada, semalam Mas Restu meninggal."
Kalimat itu terdengar bagai ribuan petir di telingaku.
Meninggal?
Aku?
Tubuhku rasanya lemas tak bertenaga sementara lawan bicaraku melanjutkan ucapannya, masih dengan kesedihan yang tak bisa lagi disembunyikan.
"Beliau dimakamkan nanti sekitar jam 1 siang sekiranya Mas kenal sama beliau dan berkenan mengantar beliau ke peristirahatan terakhirnya."
Ternyata benar...
Aku sudah meninggal...
Tak terasa air mataku menetes.
Istriku, maafkan aku.
Anakku, maafkan ayah yang bahkan tidak bisa melihat kelahiranmu ke dunia.
Ibu, maafkan anakmu yang tak pernah berbakti kepadamu.
Aku terduduk dan menangis. Beberapa menit kemudian terdengar langkah kaki mendatangiku, namun aku tak peduli.
"Pak."
Aku kenal suara itu. Suara si perempuan tua, namun aku masih tak peduli. Apa yang kualami hari ini rasanya terlalu berat untuk kutanggung.
"Pak, Pak Restu," perempuan itu kembali memanggil.
Aku mengangkat muka dan memandangnya. Kali ini aku merasa bahwa dia memandangku dengan tatapan prihatin dan meneduhkan - sama seperti waktu pertama kali aku melihatnya pagi tadi.
"Maafkan saya," ujarku sembari menyeka air mata.  "Saya sama sekali nggak tahu kenapa bisa seperti ini kejadiannya. Saya... saya ternyata sudah meninggal..."
"Saya tahu, Pak," potongnya. "Mohon maaf, saya tadi menguping pembicaraan Bapak di telepon tadi."
"Dan... saya nggak tahu kenapa saya bisa ada di tubuh ini, Bu. Ini semua bukan kemauan saya."
Aku mencoba bangkit namun tubuhku masih terlalu lemas.
"Hati-hati, Pak," tegur si perempuan tua. "Jangan dipaksakan."
"Ya, saya tahu," ujarku. "Tubuh ini bukan milik saya, ini cuma tubuh pinjaman yang harus segera saya kembalikan - bagaimanapun caranya."
Perempuan tua itu memandangku. Aku melanjutkan ucapanku.
"Percaya saya, Bu. Bukan kemauan saya ada di sini. Kalau boleh memilih, saya tentu lebih suka ada di tubuh saya yang tidak ada apa-apanya dibanding tubuh ini. Bahkan jika boleh meminta, saya belum siap meninggalkan dunia ini, meninggalkan istri yang sedang hamil anak pertama saya!" seruku.
Perempuan tua itu kembali menghela napas.
" Jika boleh, saya pun tidak ingin kehilangan majikan saya, bagaimanapun kelakuannya."
Kami saling pandang.
"Saya setuju dengan ucapan Bapak tadi, tubuh kita adalah pinjaman. Pinjaman yang suatu saat harus kita kembalikan pada-Nya, karena itu harus kita jaga baik-baik."
Perempuan itu mengulurkan tangannya padaku.
"Bangun, Pak. Saya senang Bapak berniat menjaga tubuh pinjaman itu dengan baik. Nama saya Sutirah."
(Bersambung)
Apa yang terjadi pada Restu? Â Juga, apa yang terjadi pada Bagus, pemilik tubuh yang sekarang ditempati jiwa Restu?
"Efemeral", hadir seminggu sekali setiap Senin.
Catatan Penulis :
Efemeral [ks, yunani] : tidak kekal, hanya bersifat sesaat
sumber gambar : twitterTulisan ini dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini. Â Disclaimer selengkapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H