“Aku cuma nggak enak badan,” jawab Nay dengan suara yang sengaja dilirihkan.
Jarak dari sekolah ke rumah sekitar 4 kilometer melewati jalan raya, jalan kecil, area persawahan, dan beberapa gang. Saat itu jam 12 siang, matahari sedang tepat berada di atas kepala.
Peluh Angga bercucuran. Sejujurnya, memboncengkan seorang perempuan - apalagi yang mengenakan rok - merupakan hal yang sedikit menyulitkan karena si pembonceng pasti akan duduk menyamping. Dibutuhkan usaha ekstra untuk tetap menjaga keseimbangan sepeda yang dikayuhnya.
Apalagi dia sedang sakit, aku nggak bisa seenaknya aja bawa sepeda, pikir Angga.
Jalan raya yang padat dan ramai sudah mereka tinggalkan, saat ini mereka melewati area persawahan. Angga terus mengayuh. Saat itu hanya terdengar suara rantai sepeda yang bergesekan dengan penutupnya - seirama derit pedal yang dikayuh.
"Hhh... hssh..."
Nay mendengar Angga yang terengah-engah. Jalanan di situ memang sedikit menanjak. Biasanya Angga meminta Nay turun agar dirinya bisa lebih mudah melewati tanjakan tersebut.
Tapi kali ini tidak. Angga terus mengayuh.
“Kok kamu nggak minta aku turun?” tanya Nay.“Ngg… nggak apa-apa. Kamu ‘kan lagi sakit...” jawab Angga ngos-ngosan sambil terus mengayuh.
Nay terpana mendengarnya.
“Aku turun aja nggak apa-apa kok,” ujarnya kemudian.
Angga tak menjawab, dia terus saja mengayuh dan mengayuh hingga akhirnya mereka tiba di puncak tanjakan.
“Hufft! Done!” desis Angga lega.
Ia berhenti sebentar, mengusap peluh di wajahnya, kemudian menoleh ke arah Nay.
“Siap ya?” tanyanya yang dibalas dengan anggukan Nay.
Wuush!