Dan Angga harus mengakui bahwa Nay terlihat makin cantik dalam keadaannya yang seperti ini.
Jarak antara mereka berdua semakin mengecil. Angga masih duduk di sepedanya – menunggu Nay yang kini makin dekat sehingga bertambah jelas kecantikannya.
“Nay,” panggilnya, “Ayo naik.”
Nay hanya mendengus dan membuang muka sambil terus berjalan.
Angga terperangah.
Dia beneran!
Angga kebingungan. Dirinya belum pernah menghadapi kemarahan seorang gadis.
Karena tak tahu harus bagaimana, pemuda itu akhirnya memutuskan menuntun sepedanya saja dan berjalan di belakang Nay.
“Kenapa kamu nggak duluan? Tadi katanya mau duluan, mo ninggalin aku,” tegur Nay, masih tanpa menoleh. Nada suaranya sudah tidak sekeras tadi.
“Bannya kempes,” Angga berbohong.
“Oh.”