Seluet nelayan sedang mendayung perahu, warna merahnya yang silau, perlahan memudar ketika perahu menepi di dermaga Pante Palo. Bias senja di dermaga itu, mirip senja yang sedang saya tatap sekarang juga senja yang berpendar -pendar dalam taku baju tokoh Aku dalam "Sepotong Senja untuk Pacarku" itu.
Senja-senja di kotaku, senja yang ditatap dari botol wiski di Bali, senja di daerah -- daerah terkenal yang biasa diambil sebagai latar foto di media sosial, seluet orang memegang mentari, sepasang kekasih yang berlarian di tepian pantai berwarna jingga, senja di lautan, senja di atas batu, senja dari apartemen, dan senja -senja indah lainnya hanya deretan nostalgia setelah engkau mendengar betapa dalam dan indah senja Seno Gumira.
Memang beberapa tentang senja telah lebur sebagai lagu dan puisi. Dipadukan dengan mata dan gerai rambut seorang gadis. Namun terasa hambar setelah senja Seno Gumira yang terdengar dari mulut Abimana Aryasetya itu.
Senja paling indah telah terperangkap lama dalam cerita Seno Gumira. Orang itu cukup kejam. Terkadang saya berpikir apakah senja setelah cerpen itu palsu. Terkadang saya merasa kini senja tak lagi istimewa.
"Sepotong Senja Untuk Pacarku"Â yang ditulis oleh Seno Gumira puluhan tahun silam dibaca dengan lembut oleh Abimana Aryasetya, tentang Ia yang memotret sepotong senja dan terjadi lubang sebesar potret di langit senja itu, membawa kabur potret itu dan dikejar oleh polisi seperti seorang penjahat besar.
Dia masuk ke dalam gorong-gorong dan menemukan senja yang lain, memotretnya lagi dan menukar senja yang asli dengan senja palsu itu untuk dikirimkan kepada pacarnya lewat tukang pos.
Ia dalam cerita senja itu adalah tokoh egois. Ia menjadi lebih egois dari seseorang yang memilih melihat senja dari gelas. Dia bahkan lebih egois dari seluet seseorang yang memegang mentari seperti senja di media sosial. Saya menggerutu dalam lamunan sore ini.
Seno tidak memikirkan bagaimana perasaan orang-orang di sekitar yang menyaksikan senja dengan tidak lengkap.
Mentari sore tanpa ronanya ataupun rona sore yang tanpa mentarinya. Atau pun tentang perasaan pengemis yang mengantarnya ke senja baru. Ia mungkin tak bertanya bahwa senja di dalam gorong-gorong itu milik pengemis dan teman-temannya untuk menghibur letih, dan tak lagi lengkap.
Para polisi yang mengejarnya itu, jurnalis yang membicarakanya di TV, atau pun politisi yang mencoba mengambil bagian, mungkin juga membutuhkan senja sebagai obat atas rutinitas dan segala tekanan masyarakat.
Ia mencuri senja yang bebas dan gratis hanya untuk kekasih yang barangkali terlampau sibuk untuk sekadar menikmati senja dengan minum kopi di pantai.