"Setiap orang menyukai senja yang sama namun mereka ingin menikmatinya dengan cara berbeda."
"Di Bali, aku suka memandang senja dari gelas kaca, atau botol air mineral maupun botol wisky. Dengan itu senja saya menjadi berbeda dengan senja orang lain," katanya
Mengingat kisah itu, saya mencoba menirukan cara dia menikmati senja. Saya seruput kopi untuk memberi ruang menatap dari bibir gelas.
"Kurang menarik," saya membatin
Tak ada istimewanya memandang senja dari sini. Saya meletakan lagi gelas itu.
Saya pun teringat ketika pulang dari Hokeng, desa tante yang terletak di lembah gunung Lewotobi.Â
Kala itu, senja dengan mentari bulat dan keemasannya seperti dalam potret Seno Gumira benar-benar bertengger di belahan gunung kembar itu. Saya terpesona. Saya memarkirkan motor dan mengabadikan senja itu dengan kamera.
Indah!
Saya pun berlomba dengan senja hari itu, untuk menikmatinya dari persawahan desa Konga.. Para petani membawa jerami, mobil bak terbuka dengan tumpukan pisang pisang, bis antar kota juga beberapa mobil tangki saling beriringan, gembala sapi dan semua saja yang berbau pedesaan hilir di jalan trans Flores yang membagi sawah-sawah desa itu.
Kala itu saya sedikit terlambat. Setibanya di jembatan mentari telah benar-benar tenggelam, akan tetapi jingga langit itu, belum sepenuhnya menghilang. Hari itu saya benar-benar merasa sebagai pemburu senja.
Pernah sekali, ketika pulang dari Adonara, saya menumpang perahu di Pantai Tana Mera. Dari sana mentari sedang terbenam di gunung Ile Mandiri, mentari merah itu terbenam tepat  di sisi kiri gunung Ile Mandiri.