Tapi pemandangan dihadapanku tidaklah jauh berubah. Dua arus yang bergerak berlawanan dan perahu-perahu yang masih saja bermain di atasnya.
Pulau Adonara dengan hijau dan gersangnya seturut musim. Tempat di mana engkau akan menemukan gadis-gadis semanis nira. Perempuan-perempuan bermahar gading yang pasti bikin pangling.
Tapi jangan salah, lelaki-lelakinya telah dibekali dengan parang untuk melindungi jengkal demi jengkal tanah dan harga diri gadis-gadisnya.
Nostalgia ini akhirnya membuat saya pulang pada senja yang sudah-sudah. Senja di bukit Oebelo bersama kekasih ketika memandang laut Sawu dan perahu-perahu nelayan berbaris seperti pasukan perang.
Sebuah kapal minyak sedang lewat waktu itu. Saya membelai rambutnya, lembut seperti angin sore yang menyentuh daun-daun nyiur. Setelah itu kami larut dalam doa sampai senja selesai.
Ada juga senja yang saya nikmati ketika belajar fotografi di pantai Teddy'S. Pantai yang berada di pusat kota dan deretan pertokoan namun sunyi, kontras lewat sinarnya yang remang, gelap dan nikmat. Siluet dan warna senja itu terperangkap dalam dalam kamera pocket.
Waktu itu, saya tidak sengaja menyaksikan sepasang kekasih saling mencumbu di bawa remang merah matahari.Â
Senja memang menjadi waktu paling baik untuk ciuman dengan nuansa romantis yang tak perlu diabadikan dalam lensa kamera. Cukup lewat nostalgia di ujung malam kala rindu sedang mengambil tempat.
Melewatkan senja di bukit Cinta dengan teman-teman sambil menikmati  arak dan tuak, menatap senja di Bukit Baumata saat pesawat datang dan pergi di Bandara Penfui juga bagian dari ingatan setelah cerpen Seno Gumira ini mendayuh-dayuh dalam telingaku.
Saya juga ingat cerita seorang aktivis dan pegiat literasi di kota saya. Perempuan bertato mawar di pergelangan tangan itu bercerita pengalamannya tentang senja.
"Hari-hari ini semua orang tergila- gila dengan senja, saya juga." katanya