Selepas menari-ria di atas  pasir basah itu, saya menyandarkan tubuh di bale-bale warung kopi. Saat itu arus laut sedang wura, pertanda laut akan surut  dinihari nanti.
Menjelang mentari terbit, orang-orang kota akan berbondong-bondong untuk bekarang. Mereka membuka hari di pantai sambil memburu ikan dengan nere dan ketura. Kepiting, belut, siput juga gurita tak luput dari sergapan.
Dengan membuka hari di tepi pantai, mereka akan menyaksikan matahari terbit dengan cahaya keemasannya. Cahaya itu akan memudar seiring meningginya matahari. Matahari akan menghilang di balik gunung Ile Mandiri dan meninggalkan cahaya seperti yang kusaksikan sekarang.
Orang-orang di balik gunung itu, akan menyaksikan matahari dari pantai mereka sendiri. Cahaya senja yang jatuh di lautan, menyentuh buih-buihnya, seperti potret senja Seno Gumira.Â
Jika seorang lelaki kota ini jatuh cinta dengan seorang gadis dari desa di balik gunung itu, tentu ia adalah sosok paling romantis karena mengirimkan cinta dan rindu lewat rotasi bumi.
Saat bumi berputar mengelilingi matahari, cinta yang dia titip pada cahaya mentari pagi di hamparan laut, akan tiba di pintu rumah sang gadis segera setelah mentari senja tenggelam dalam lautan di daratan yang sama.
Lalu hari berjalan seperti biasa. Anak-anak akan pergi bersekolah dan orangtua akan sibuk dengan jam-jam kerja, kurir-kurir akan mengantar paket, koperasi harian juga akan mengetuk pintu para nasabah. Jalanan akan ramai sampai datang waktu semua lengang dan sayup.
Saya menyadari bahwa pemandangan matahari terbit di lautan yang tak terhalang apa pun ini tidak akan abadi. Pembangunan akan berlangsung, menggusur ini itu, menambal ini itu. Investasi dengan dahlil  ekonomi akan membuat segalanya berubah.Â
Beberapa tempat di sudut kota telah terhimpit bangunan tinggi menjulang. beberapa pantai tak lagi bebas dinikmati dengan mudah, beberapa debur ombak akhirnya menghantam tanggul.
Seperti kegiatan bekarang itu juga, terumbu karang dan ikan-ikan kecil menjadi korban dari perjuangan manusia bertahan hidup. Lautan menjadi gelisah, deburnya membuat abrasi dan manusia harus membangun tanggul untuk menahan kegelisahan laut itu.
Wajah kotaku kian berubah seturut ide. Pelebaran jalan di tepian pantai, pembangunan hotel dan tanggul, perluasan pelabuhan kota karena meningkatnya kebutuhan tranformasi dan mobilisasi, penandatangan kontrak proyek dan korupsi menjadi bayang- bayang di belakangnya. .